Ambiguitas Penjualan BUMN

Oleh: Aulia Rachman Alfahmy

Karena sedang pusing dengan tema apa yang harus saya tulis buat ekonom gila, akhirnya saya mencoba men-trace back beberapa pertanyaan lucu nan aneh yang pernah menyeruak dan muncul di jaman saya kuliah. Salah satunya adalah cerita soal penjualan BUMN.
Pada suatu hari, masyarakat mendemo pemerintah yang suka melakukan privatisasi BUMN. “Gimana sih ini, pemerintah kok sukanya jual-jual BUMN”. Jawabannya gampang sekali, “Ya karena BUMN nya tidak bisa kami kelola, merugi terus, kalau rugi pemerintah yang nalangin lewat APBN kan? Duit APBN kan dari kalian wahai rakyat? Kalau gitu apa kalian mau nalangin mereka terus dari bayar pajak?”. Nah, rakyat pasti diam seribu bahasa. “Bener juga kata pemerintah…”
Namun Anehnya suatu hari ada sebuah berita besar. BUMN XXX DIJUAL PEMERINTAH KE PENGUSAHA NEGARA YYY. Uniknya, BUMN itu terkenal sehat, membawa untung dan tidak merugi. Loh ada apa ini? Lalu rakyat kembali bertanya-tanya sama pemerintah.” Tah-tah..itu perusahaan yang XXX kinerja bagus kok kamu jual juga?”. Ternyata pemerintah tidak kehabisan akal dijawabnya dengan mudah “Kalau perusahaan sakit nan mau bangkrut, siapa swasta yang mau beli…???”. Rakyat kebingungan…
Ini adalah kisah nyata, dan kisah ini memang benar-benar terjadi di Negara Indonesia. Isu ini memang tidak seksi lagi (sekarang isu politik ekonomi di Indonesia lebih banyak beritain siBeye siih..), tapi setidaknya ini bisa menjadi pelajaran kita kelak di masa depan, kalau-kalau ada dari kalian yang menjadi Menteri BUMN, atau paling nggak salah satu Dirutnya.
Ambiguitas-ambiguitas di atas sebenarnya bersumber dari satu pertanyaan dasar: Apakah Pemerintah, yang sudah punya kekuasaan di bidang Politik dan Hukum, boleh dan bisa bermain sebagai pelaku ekonomi? Logika dasar orang-orang yang menolak adanya peran pemerintah di dunia usaha seperti ini: Jika pemerintah sebagai wasit, dan pemain adalah pengusaha-pengusaha, masyak wasit juga ikut bermain bola? Kan bisa jadi gak adil?
Tapi di sisi lain ada juga yang pro. Yaitu dengan berargumen “Terus bagaimana janji pemerintah yang katanya ingin mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan? Membangun tidak hanya jiwa tapi juga raga melalui kesejahteraan dan kesehatan? Itu janji! Dan kita telah sepakat, kontrak politik. Saya rakyatmu mengakui kamu sebagai pemerintah, kamu pemerintah harusnya mengayomi saya doooong!”
Ada juga yang akhirnya mengambil jalan tengah. Pemerintah akhirnya boleh bermain di dunia usaha. Untung boleh, tapi dikit-dikit aja. Yang penting sektornya bertujuan untuk memberikan janji-janji itu, terutama di bidang kesehatan dan pendidikan (maka muncullah sekolah-sekolah negeri dan rumah sakit negeri).
Dari argumen dasar tadi itu saja (apakah pemerintah layak ikut terjun dalam dunia usaha atau tidak) kita sudah bisa menemukan argumen-argumen yang terlihat sama benarnya dan sama shahihnya. Nah, maka kembali kasus BUMN dijual-jual tadi, sebenarnya mana sih yang benar dengan kasus penjualan BUMN itu?? Dijual karena bangkrut? Atau Dijual karena sehat?
Setelah saya pikir-pikir ya…harusnya kita memulai dulu untuk mengelompokkan pendirian BUMN itu tujuan apa? Pelayan sosial atas pemenuhan janji-janji Indonesia, ataukah sebagai pundi-pundi pemasukan untuk BUMN Negara? Jadi kalau gitu kita bagi dua nih:
1)      BUMN yang dibentuk untuk tujuan kebutuhan masyarakat yang merupakan janji-janji negara terhadap rakyat.
2)      BUMN yang dibentuk untuk tujuan menjadi pundi-pundi pemasukan bagi pemerintah.
Kalau saya melihat yang no.1 itu adalah kewajiban, sedangkan yang no.2 adalah sunah. No 2 sunah kenapa? Karena sebenarnya, idealnya pemasukan yang dominan kepada negara adalah dari sektor penerimaan pajak.
Nah, lalu kapan BUMN dijual kapan ditahan. Kalau pemerintah ingin menjual BUMN yang merugi dan bangkrut terus, harus dilihat dia BUMN dalam kategori apa? Kalau dia BUMN yang bertujuan sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat, maka ya memang sudah sewajarnya dia “merugi” karena BUMN semacam itu tujuan profitnya hanya sebagai pelengkap saja, yang paling penting adalah masyarakat bahagia dan sejahtera.  Kalau untung yang syukur alhamdulillah, kalau nggak untung ya gak apa-apa.
Tapi kalau di BUMN yang dari awal digadang-gadang sebagai salah satu sumber pemasukan kas negara, tapi pada kenyataan tidak berhasil, kemungkinan ada yang salah di manajemen yang dikelola pemerintah. Maka jual saja! Berikan pengelolaannya pada swasta. Tapi kalau dia menguntungkan kenapa harus dijual? Perhatikan Matriks BUMN ala Aulia (2011) ini dia…

Lalu kenapa ada BUMN yang bukan bertujuan sosial alias bertujuan profit murni, dan untung besar, lalu dijual sama pemerintah? Ada dua kemungkinan 1) Kemungkinan dia tidak lebih pintar dari Aulia Rachman (setidaknya sama bodohnya laaaah..) atau 2) Dia ada “main mata sama pembeli”, BUMN harga pasarnya 5 triliun, dijual sama konconya 4 triliun saja. Sama pembelinya yang konconya itu, dia kasih fee sebesar Rp500miliar. Si broker untung Rp500miliar, si pembeli untung Rp500miliar (karena hanya mengeluarkan Rp4,5 triliun, harga pembelian + biaya fee, yang dari seharusnya Rp5 triliun). Itu sebabnya ada yang masih kekeh, kalau pemerintah jalanin BUMN, maka bisa abuse of power, dan tidak diberi penalti, wong dia wasitnya..!!
Nah…kalian mendukung yang mana?  

Buang Sampah Sembarangan Juga Korupsi (mungkin)

Oleh: Aulia Rachman Alfahmy
Oke, tulisan ini sebenarnya tulisan  sangat lama dan sedikit dimodifikasi. Intinya ada soal kekesalan saya kalau melihat orang membuang sampah sembarangan. Nah buat kamu semua yang selama ini katanya sangat anti sama korupsi, hati-hati dengan membuang sampah sembarangan. Baiklah, apa hubungnya? Mari simak artikel ini.
Suatu kali saya sempat berjalan kaki, ada anak SD sedang mengendarai sepedanya sambil menghabiskan minumannya dalam sebuah plastik. Dengan seenaknya ia membuang sampah minumannya ke jalan dengan melepaskannya begitu saja, dan sampah itu pun tergeletak di jalan.

Saya shock!, dalam hati saya berpikir dan bertanya-tanya, kenapa sih sampah itu tidak dipegang sebentar sampai ada tempat sampah di dekatnya. Sebuah tindakan yang tidak susah untuk  dilakukan dan 100% bisa. Ternyata  sikap ini tidak hanya dilakukan oleh anak SD itu saja. Ketika aku berjalan-jalan (tentunya dengan kaki) hal-hal serupa sering terjadi. Bahkan sampah yang dibuang bukan hanya sampah industri tapi sampah dari tubuh manusia, mohon maaf, misalnya kencing di sembarang tempat.
Saya jadi berpikir, betap mahalnya biaya pemerintah agar bisa membersihkan semua kotoran itu. Mulai dari upah pegawai Dinas Kebersihan Pemerintah (DKP) sampai sosialisasi anti buang sampah dengan papan reklame yang besar-besar. Sebuah pengeluaran yang tidak semestinya dikeluarkan jika semua masyarakat sadar akan kebersihan. Lagi-lagi kita dihadapkan kenyatan bahwa kebersihan adalah barang publik di mana pemerintah lagi-lagi harus membiayai itu semua, mau tidak mau, suka tidak suka.
Logika sederhannya: semakin banyak kita buang sampah sembarangan, semakin banyak uang pemerintah yang harus dikeluarkan untuk membersihkan. Jika kita benturkan logika ini pada beberapa definisi korupsi. Maka semakin jelas bahwa tindakan membuang sampah sembarangan adalah korupsi, mari kita simak definisi korupsi yang saya cuplik dari website Masyrakat Transparansi Indonesia

Dari segi semantik, “korupsi” berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Istilah “korupsi” juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya.
Secara hukum pengertian “korupsi” adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Masih banyak lagi pengertian-pengertian lain tentang korupsi baik menurut pakar atau lembaga yang kompeten. Untuk pembahasan dalam situs MTI ini, pengertian “korupsi” lebih ditekankan pada perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau golongan.

Kenapa membuang sampah mungkin saja bisa golongkan dalam tindakan korupsi? Pertama, membuang sampah adalah perbuatan yang merugikan kepentingan publik, mulai dari aspek yang tangible yang dapat dimoneterkan hingga aspek yang intangible yang tidak bisa dimoneterkan. Contoh kerugian yang tangible seperti yang saya jelaskan sebelumnya, biaya yang keluar dari APBN/APBD pemerintah. Padahal biaya tersebut bisa saja ditekan bahkan dihindari jika kita tidak membuang sampah sembarangan. Mari kita asumsikan biaya pemerintah untuk membersihkan kotoran akibat tindakan membuang sampah sembarangan adalah Rp100juta, seandainya biaya itu bisa dihindari, bayangkan berapa pedagang kecil di pasar yang dapat melanjutkan usahanya karena mendapat subsidi pemerintah dari uang Rp100juta tersebut. Di sisi lain. contoh kerugian dari aspek intangible adalah terganggunya “kenyamanan” dan “keindahan” yang seharusnya menjadi hak bagi setiap orang.
Faktor kedua yang menjadi alasan mengapa membuang sampah sembarang adalah tindakan korupsi adalah karena tindakan tersebut didasarkan pada kepentingan pribadi, padahal memiliki kekuatan untuk menghidari hal itu. Korupsi adalah abuse of public power or position for personal advantage (ADB’s definition).  Iya! pertama kita sebenarnya memilik power untuk mebuang sampah itu sendiri, akan tetapi demi kepentingan pribadi lalu menganggap dunia ini adalah “tempat sampah“ terbesar sehingga dengan gampangnya membuang sampah di manapun ia berada. Orang-orang merasa malas untuk hanya sekedar mencari tempat sampah, “agh buang di sini aja, kan entar ada yang bersihin”, mereka hanya melandaskan pernyataan mereka pada kepentingan pribadi saja, sekali lagi, padahal mereka mampu!
Pesan yang ingin saya sampaikan adalah bahwa kita harus sadar bahwa membuang sampah sembarangan mungkin saja adalah bagian dari tindakan korupsi. Jangan sampai kita hanya demo sana-sini menentang korupsi tapi sehabis demo kita meninggalkan sampah di mana-mana. Tanpa terasa kita menelan ludah kita sendiri, tanpa sadar ternyata kita sendiri melakukan tindakan korupsi. Maka tidak heran jika dalam sebuah hadist menyatakan, “kebersihan adalah sebagian dari iman”, karena memang benar, para koruptor adalah orang-orang yang imannya patut dipertanyakan (nyambung gak ya? :P).

Oke, terakhir buat para pembaca ekonom gila, yuk mari kita melihat diri kita sendiri, sudahkan kita membuang sampah pada tempatnya. Bahkan untuk sampah-sampah yang terlihat sepele sekalipun. Misalnya bungkus sedotan aqua, tisu, sampai sobekan pembungkus permen yang sangat kecil. Kalau sampah itu sifatnya anorganik, sekecil apapun akan tetap sangat mengganggu.

Saatnya Kita Yakinkan Dunia

Oleh: M Syarif Hidayatullah*)

Diselenggarakannya Konferensi WEF (World Economic Forum) di Jakarta menjadi simbol semakin kuatnya posisi Indonesia dalam percaturan ekonomi global. Dihadiri oleh pebisnis dan pimpinan negara dari berbagai negara, WEF sejatinya dapat menjadi ajang show up kekuatan dan kemajuan ekonomi Indonesia. Pada ajang ini, Indonesia dapat menegaskan posisinya sebagai salah satu negara paling menjanjikan di masa yang akan datang.

WEF tentu tidak datang dengan penilaian kosong terhadap Indonesia. Setiap tahunnya, WEF melansir Global Competitivnes Index (GCI) yang memuat berbagai indeks mengenai daya saing setiap negara. Pada GCI tahun 2010, Indonesia menempati peringkat ke-44, naik 10 peringkat dibandingkan tahun 2009. Hal ini tentunya menggembirakan, mengingat peringkat Indonesia di atas negara-negara BRIC (Brazil, Russia, India, China) seperti India (51) , Brazil (58), dan Russia (63).

Secara umum, memang daya saing Indonesia menempati peringkat yang tinggi. Akan tetapi jika dilihat per indikatornya, ada beberapa indikator yang masih menjadi kelemahan mendasar Indonesia, seperti infrastruktur, kualitas pendidikan, dan penguasaan teknologi. Indonesia menempati peringkat 90 dalam hal infrastruktur. Hal ini “dapat dimaklumi” karena pembangunan infrasturktur Indonesia terkenal lambat. Selain itu, peringkat pendidikan dan teknologi Indonesia juga sangat rendah. Pada GCI peringkat pendidikan Indonesia untuk higher education training menempati peringkat 66, sedangkan untuk technological readiness Indonesia terpuruk di peringkat 91. Dapat disimpulkan bahwa menurut WEF, buruknya infrastruktur, kualitas pendidikan, dan lemahnya penguasaan teknologi menjadi permasalahan mendasar bagi Indonesia.

Peluang MP3EI
Saat ini, Indonesia memiliki Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). MP3EI berisikan upaya pemerintah untuk memperbaiki daya saing dan mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Ditargetkan Indonesia menjadi big player perekonomian global pada tahun 2025 dengan GDP/Kapita mencapai US$ 14.500 dan GDP sebesar US$ 4,5 Triliun. Untuk menggapai cita-cita tersebut, MP3EI mencanangkan 3 pilar pembangunan. Pertama pembangunan infrastruktur. Kedua perbaikan regulasi. Ketiga pengembangan IPTEK.

Tiga pilar pembangunan tersebut seperti menjawab “keluhan” WEF terhadap Indonesia. Seperti yang terlansir dalam GCI, infrastruktur, Pendidikan, dan penguasaan IPTEK Indonesia menempati rangking yang cukup rendah. Oleh sebab itu, adanya MP3EI diharapkan mampu menjadi jawaban atas “keluhan” WEF terhadap Indonesia. Dalam hal pembangunan infrastruktur, MP3EI mencanangkan investasi (hingga 2014) sebesar Rp.1700 Trilun. Selain itu, MP3EI juga mencanangkan pengembangan IPTEK sebagai landasan penciptaan daya saing bangsa (knowledge based economy).

2 tantangan MP3EI
Tentu kita berharap MP3EI tidak menjadi pepesan kosong. Impelementasi yang konkrit perlu segera dilakukan. Penulis menilai setidaknya ada dua tantangan yang harus diwaspadai dalam mengimplementasikan MP3EI. Pertama, sulitnya untuk perbaikan regulasi. Kedua, belum jelasnya permasalahan pembebasan lahan yang akhirnya akan menghambat pembangunan infrastruktur.

Pertama, sulitnya melakukan debottlenecking regulasi. Dalam MP3EI, termuat upaya-upaya pemerintah untuk melakukan debottlenecking atas regulasi-regulasi yang selama ini dipandang menghambat. MP3EI menargetkan untuk melakukan debottlenecking terhadap 7 Undang-Undang, 7 Peraturan Pemerintah, 5 Perpes, dan 9 Peraturan Menteri. Untuk melakukan debottlenecking atas regulasi-regulasi tersebut dibutuhkan usaha yang besar. Belum lagi diantara regulasi-regulasi tersebut terdapat regulasi yang dikategorikan “sensitif” dan melibatkan banyak kepentingan.

Beberapa regulasi yang ditargetkan oleh MP3EI untuk direvisi memuat muatan politis yang besar. Sebut saja UU 13 Tahun 2003 (UU Ketenagakerjaan), apakah Pemerintah dan Legislatif cukup berani untuk melakukan revisi pada UU, karena isu ketenagakerjaan adalah isu yang sensitif dan melakukan revisi terhadapnya merupakan kebijakan yang tidak populis. Terlebih lagi dalam MP3EI disebutkan bahwa hal-hal yang akan direvisi adalah seputar outsourcing, kontrak kerja, dan pesangon.

Kedua, menyelesaikan permasalahan pembebasan lahan. Masalah lahan menjadi momok utama dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Banyak proyek infrastruktur yang tidak bisa berjalan akibat ada salah satu bagian lahannya (yang bahkan hanya sebagian kecil) belum dapat dibebaskan. Oleh sebab itu, RUU penyediaan lahan untuk kepentingan umum harus segera disahkan. Dengan adanya UU ini, penyediaan lahan untuk infrastruktur akan menjadi lebih cepat, dan tentunya UU diharapkan dapat menjamin kompensasi yang adil bagi pemilik lahan.

WEF mempunyai standar yang tinggi dalam menilai daya saing suatu negara. GCI yang dikeluarkan WEF adalah salah satu parameter yang paling sering digunakan investor untuk menilai kelayakan investasi di suatu negara. Adanya MP3EI bisa menjadi momentum Indonesia untuk menggapai standar WEF tersebut dan memperbaiki daya saing Indonesia. Saat ini mata dunia sedang mengarah ke Indonesia, jika Indonesia dapat memperbaiki diri dengan meningkatkan daya saingnya (perbaikan infrastruktur, regulasi dan IPTEK), maka tidak mustahil apabila target pendapatan perkapita US$ 14.500 (2025) sebagaimana termaktub dalam MP3EI dapat terwujud.

(Tulisan ini dimuat dalam Kolom Opini Koran Bisnis Indonesia, 15/06/2011)

*)Peneliti Mubyarto Institute. Kerja di Menko Perekonomian RI. Calon menteri yang ga bisa posting blog sendiri :p

"Senjata Ampuh Indonesia Yang Namanya UMKM" ( Usaha Mikro, Kecil dan Menengah )

Oleh : Artanto Budi Nugroho

Ada tiga alasan utama kenapa ekonomi rakyat merupakan suatu isu penting di dalam perekonomian Indonesia :
1. Kemiskinan hingga saat ini masih merupakan salah satu masalah serius
2. Masalah pengangguran yang juga sulit dituntaskan
3. Suberdaya Manusia Indonesia yang melimpah dan kurangnya ketersediaan lapangan kerja
Pendefinisian ekonomi rakyat hingga saat ini belum tuntas. Apa yang dimaksud dengan ekonomi rakyat? Siapa yang termasuk rakyat dan siapa yang tidak? Apakah seorang konglomerat berwarga negara dan tinggal di Indonesia bukan termasuk rakyat, sehingga perusahaannya tidak dianggap ekonomi rakyat?. Namun ada semacam kesepakatan umum bahwa usaha-usaha yang masuk di dalam kategori ekonomi rakyat adalah usaha mikro (UMI), usaha kecil (UK), atau gabungan usaha mikro dan kecil (UMK). Perusahaan tersebut pada umumnya tidak terdaftar, tidak memiliki izin usaha. Kebanyakan dari UMK digolongkan sebagai sektor informal.
saya sebagai anak muda sangat prihatin dengan kondisi indonesia saat ini, terutama bidang pendidikan yang saat ini kalo saya liat hanya berbasis ilmu ukur saja ilmu nyata (praktek lapangan) sangat jarang sekali di ajarkan. padahal ilmu nyata sangat penting juga untuk di ajarkan ke pada generasi2 penerus bangsa, kebanyakan bisanya menganalisi saja tapi gax bisa mempraktekannya di dunia nyata terutama bidang ekonomi kerakyatan khusunya Kewirausahaan berbasis UMKM.
menanggulangi kemiskinan dan pengangguran cara terbaik adalah dengan menumbuhkan jiwa UMKM kepada masyarakat, bayangkan dengan banyaknya jumlah penduduk di indonesia maka peluang itu sangat terbuka lebar, klo pemerintah serius menerapkan ini maka roda perekonomian di tingkat masyarakat bawah (entry level) akan berputar dan kemiskinan bisa di kurangi dan Masyarakat akan bisa membiayai kebutuhannya sehari2 tanpa mengandalkan orang lain dan menciptakan peluang ekonomi sendiri.
penerapan umkm sebenarnya mudah klo memang digarap secara serius oleh pemerintah. disini fungsi pemerintah adalah sebagai agen pemberdayaan masyarakat dan regulator. Agen pemberdayaan masyarakat ini memiliki fungsi untuk merubah main set (pola pikir) masyarakat miskin jadi masyarakat yang produktif. disini funsi pemerintah adalah mengajarkan bagai mana cara berwirausaha yang baik dan berkelanjutan, bagaimana memanagenya supaya tetap berputar melawan arus waktu dan persaingan, bagaimana mencari sumber dana untuk lebih mengembangkannya menjadi lebih baik dari waktu ke waktu dan itu klo serius di tangani maka perekonomian indonesia suatu saat nanti akan seperti CHIna, sedangkan dari sisi regulator adalah sebagai pengampu kebijakan yang diharapkan mampu mengatur dan memberi dukungan terhadap alur keberlangsungan UMKM di indonesia.
misalnya : ada masyarakat miskin atau pengangguran dia mau berusaha dan serius keluar dari jurang kemiskinan tetapi masyarakat tersebut tidak tau akses bagaimana dapat mengeluarkannya dari kemiskinan ini mau pinjem dana di bank swasta sangat sulit karena tdk memiliki jaminan utang yang diminta bank, pinjam sana sisi gx noleh karena orang miski takut gax bisa bayar, maka disinilah peran pemerintah sangat penting sebagai regulator dan fasilitator, regulator adalah sebagai penentu kebijakan ekonomi mikro, misalnya : pemerintah mengeluararkan kebijakan tentang kredit lunak untuk UNKM, adanya Program Pengentasan Kemiskinan, adanya Kredit Usaha Rakyat, dsb. sedangkan fasilitator adalah dimana pemerintah sebagai agen yang memfasilitasi masyarakat untuk mau keluar dari yang namanya miskin. misalnya : pemerintah secara berkelanjutan mengadakan pelatihan-pelatihan wira usaha, pelatihan keterampilan, pelatihan bagaimana cara menjual produk yang baik, dsb. semua itu sebenarnya sudah ada tetapi tingkat keseriusan untuk mengelolannya untuk saat ini yang sangat rendah karena fokus utama pemerintah bukanlah pengentasan kemiskinan, terbukti dari urutan klasifikasi program MDG,S (Milllenium Development Goal’s) pemerintah yang menempatkan pemberantasan kemiskinan ada di urutan no 4 di bawah reformasi birokrasi, pendidikan nasional dan kesehatan masyarakat.
Salah satu kunci keberhasilan usaha mikro, kecil dan menengah adalah adalah tersedianya pasar yang jelas bagi produk UMKM. Sementara itu kelemahan mendasar yang dihadapi UMKM dalam bidang pemasaran adalah orientasi pasar rendah, lemah dalam persaingan yang kompleks dan tajam serta tidak memadainya infrastruktur pemasaran. Menghadapi mekanisme pasar yang makin terbuka dan kompetitif, penguasaan pasar merupakan prasyarat untuk meningkatkan daya saing. Oleh karena itu, peran pemerintah diperlukan dalam mendorong keberhasilan UMKM untuk memperluas akses pasar, membantu memfasilitasi pendanaan, dan memperluas market sharenya dengan dibuktikan oleh regulasi dan kebijakan2 yang pro UMKM.
Kegagalan pola pembangunan ekonomi yang bertumpu pada konglomerasi usaha besar telah mendorong para perencana ekonomi untuk mengalihkan upaya pembangunan dengan bertumpu pada pemberdayaan usaha kecil dan menengah. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan terbukti menjadi katup pengaman perekonomian nasional dalam masa krisis
Untuk itu diperlukan upaya untuk meningkatkan akses UMKM pada informasi pasar, lokasi usaha dan jejaring usaha agar produktivitas dan daya saingnya meningkat, permodalan serta akses pasar . Maka dari itu menuntut adanya peran dan partisipasi bebagai pihak terutama pemerintah dan kalangan perguruan tinggi untuk membantu dan memfasilitasi akses informasi bagi para UMKM yang sebagian besar berada di daerah pedesaan atau kota-kota kecil.
bayangkan jika satu KK memiliki satu UMKM dan usaha itu dapat berkembang baik maka saya yakin pengentasan kemiskinan bukanlah hal yang mustahil dilakukan walopun tidak sepenunya hilang paling tidak bisa mengurangi banyak yang namanya kemiskinan
Merupakan suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa UMKM (Usaha Mikro, Kecil, Menengah) adalah sektor ekonomi nasional yang paling strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga menjadi tulang punggung perekonomian nasional. UMKM juga merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian di Indonesia dan telah terbukti menjadi kunci pengaman perekonomian nasional dalam masa krisis ekonomi, serta menjadi dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis
Itu artinya, usaha mikro yang memiliki omset penjualan kurang dari satu milyar, dan usaha kecil memiliki omset penjualan pada kisaran satu milyar, serta usaha menengah dengan omset penjualan di atas satu milyar pertahun, memiliki peran yang sangat besar dalam proses pembangunan bangsa ini.
Peran usaha mikro, kecil dan menengah dalam perekonomian negara sangat penting dan strategis, karena telah terbukti menjadi penyelamat perekonomian pasca krisis dan menjadi penyedia lapangan kerja terbesar. Tersedianya lapangan kerja dan meningkatnya pendapatan diharapkan akan membantu mewujudkan masyarakat Indonesia yang aman dan damai; adil dan demokratis; serta sejahtera. Sehingga sektor UMKM perlu menjadi fokus pembangunan ekonomi nasional masa mendatang.
UMKM yang tangguh dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal besar dalam memelihara dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Dukungan terhadap sektor ini sekaligus dapat mengurangi dan menetralisir dampak negatif yang telah ditularkan oleh negara maju yang berbasis kapitalisme, yaitu semakin melebarnya kesenjangan ekonomi antar kelompok masyarakat (yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin). Kemudahan dan ketersediaan informasi pasar bagi UMKM akan sangat membantu mengembangkan usahanya. Jika informasi pasar sudah dapat diakses dengan mudah dan cepat, paling tidak akan menumbuhkan motivasi bagi para pelaku UMKM untuk menjalankan usahanya dengan lebih serius, sehingga UMKM berkembang lebih maju. Kemajuan UMKM berarti kemajuan bagi perekonomian negara, sehingga menumbuhkan kemandirian bangsa agar dapat lepas dari jeratan neo kolonialisme dan kapitalisme global yang di dengung-dengungkan negara barat.

Peran Pa’gandeng (Tukang Sayur) dalam Penciptaan Titik Equilibrium

Sayur!.. Sayur!.. Sayur!.. Tiap pagi suara tukang sayur keliling selalu menghiasi hari yang baru dimulai. Biasanya mereka berkeliling dari kompleks perumahan yang satu ke kompleks perumahan lainnya. Di Makassar, mereka biasa disebut dengan istilah Pa’gandeng (bacanya ‘e’ nya seperti saat baca ‘e’ pada kata ‘dendeng’). Para pa’gandeng ini tidak berasal dari Kota Makassar lhoh!.. Mereka berasal dari wilayah-wilayah kabupaten yang ada mengelilingi Makassar, biasanya dari Kabupaten Maros, Gowa, atau bahkan Takalar. Jaraknya tidak tanggung-tanggung yang mereka tempuh tiap harinya. Total jarak pulang pergi bisa mencapai 100 KM!… Terbayangkah bersepeda sejauh itu? Bagi yang belum terbiasa, harap tidak usah mencobanya, soalnya di tengah jalan nggak ada tukang tambal betis :P
Ya…meskipun banyak juga yang sudah memakai motor, tapi sebagian besar pa’gandeng yang ada di Makassar masih menggunakan sepeda ketika berkeliling menjajakan sayur dagangannya. Dan kedatangan mereka selalu disambut ramai oleh ibu-ibu. Bahkan tidak jarang jadi tempat gossip. Makanya jangan heran kalau pa’gandeng adalah sumber informasi yang baik. Hihihiii..ngasal deh kalo yang ini!… :D
Btw soal belanja, tahu kan hobinya cewek kalo berbelanja? Apalagi kalau bukan nawar!… :D
Ya!.. Keriuhan tawar menawar antara pa’gandeng dengan ibu-ibu yang membeli sayurannya selalu menjadi cerita lucu tersendiri. Beda 100rupiah pun seringkali si ibu-ibu nggak mau ngalah dari pa’gandeng. Eitsss..jangan salah.. itu bukan cuma soal hemat-menghemat anggaran, tapi juga menyangkut psikologis dan bisa ditinjau dari sudut pandang ilmu ekonomi juga lho!… :D

Pa’gandeng dan Titik Equilibrium
Proses tawar menawar antara pa’gandeng dengan pembelinya itu merupakan salah satu contoh proses terjadinya titik pertemuan antara supply dan demand sehingga membentuk titik equilibrium ketika harga telah disepakati.
Perilaku Konsumen yang Tidak Rasional
Kita semua sepakat kan bahwa pa’gandeng (tukang sayur) adalah pedagang kecil. Bila dibandingkan dengan sayuran di supermarket jelas berbeda. Harga sayuran yang dijual oleh pa’gandeng dengan yang dijual di supermarket, benar-benar kompetitif. Masing-masing punya keunggulan tersendiri. Seringkali malah harga sayuran yang dijual pa’gandeng lebih mahal daripada harga sayuran di supermarket, meskipun bagi sebagian orang tidak material (hihihii..minjem istilah akuntansi :D).
Pa’gandeng memulai usahanya di dini hari ketika orang-orang masih terlelap. Dan mulai mengayuh sepedanya seusai shalat subuh. Datang ke satu kompleks ke kompleks berikutnya, seharian menjajakan sayuran yang harus dilariskan hari itu juga, sebab sayuran bukan produk yang tahan lama.
Satu hal menarik yang membuat saya tergelitik, yaitu ketika ada pelanggan pa’gandeng yang nawarnya sadis. Padahal secara finansial sangat berlebih. Huehehehe.. Nah..untuk yang dah tahu konsep ekonomi, menurut saya kalau mau nawar beli sayur di pa’gandeng ya nawar sewajarnya aja. Malah seharusnya nggak usah nawar lhoh!… :p itung-itung bagi rejeki gitu… Hhaaahaa..
Lhoh? Kenapa? Kok malah nawarin nggak usah nawar? :) iya..soalnya kalau belanja di supermarket aja kita bisa, ngapain nawar saat belanja di pa’gandeng? Kalau ke supermarket, kita harus keluar tenaga menuju ke supermarketnya, apalagi kalau masih pagi-pagi banget pasti belom buka. Bandingkan dengan pa’gandeng yang memudahkan kita membeli sayur dari depan pagar rumah kita sendiri. Kita nggak perlu repot, nggak keluar tenaga. Yang capek cuma pa’gandengnya. Ditambah lagi kita pesan ke pa’gandengnya untuk membawakan sayur tertentu di keesokan harinya. Nah.. karena semua alasan itu, bisa kan kita sedikit menghargai usaha para pa’gandeng? ;) Caranya? Ya itu tadi.. kalo nawar nggak usah sadis-sadis. Wkwkwkkwk…
:p
Melalui jasa pa’gandeng, satu titik keseimbangan terjadi setiap harinya. ;) Dunia itu harus balance seperti neraca dalam akuntansi. Dan keseimbangan makrocosmos hanya dapat terjadi ketika terjadi keseimbangan di mikrocosmos lebih dulu (waduh apa nih artinya? Artinya kalo belanja di pa’gandeng ataupun pdagang kecil lainnya nggak usah nawar sadis-sadis kalo emang mampu dompetnya). ^_^ :D
-*-