Apa Maksudnya "Jika ada wanita yang melamar saya terlebih dahulu, maka saya akan menjanjikan dia peluang 80%"

Oleh: Aulia Rachman Alfahmy
Sebagai seorang “ekonom gila”, saya selalu terbiasa menggunakan angka dalam menjelaskan dan mengungkapkan sesuatu agar dapat dipahami dengan mudah. Kisah dari tulisan ini dimulai dari sebuah pernyataan yang cukup unik, “Jika ada wanita yang melamar saya terlebih dahulu, maka saya akan menjanjikan dia peluang 80% keberhasilan”. Terlepas saya suka dia atau tidak, dia cantik atau biasa-biasa saja, kaya atau miskin, intinya kita anggap tidak ada faktor lain yang memengaruhi (kecuali faktor agama kali ya? :P). Saya sudah berjanji memberikan “80%” saya kepada dia. Adapun saya melakukan ini karena 1) Saya menghormati keberanian perempuan menyatakan lebih dahulu; 2) Untuk saat ini, melihat dari kondisi saya yang belum mapan dan menjadi apa-apa, pastinya sang perempuan benar-benar melihat lebih dari sekedar materi, 80% adalah reward saya.
Tapi ada satu hal yang menganggu saya akhir-akhir ini. Apa sebenarnya makna dari ungkapan “80%” ini? Bagaimana praktik di lapangannya? Apa konsekuensi pernyataan ini bagi masa depan rumah tangga saya? Apakah ungkapan ini dapat menjelaskan siapa saya?  Apa manfaat mengetahui makna angka-angka ini bagi para pembaca Ekonom Gila?
Pengertian 80% pada Umumnya
Mari kita berasumsi 1) cateris paribus, pilihan atas pelamar objektif, tidak ada tendensi atau kecenderungan 2) bahwa yang namanya melamar hanya ada dua jawaban, “Ya” dan “Tidak”, jadi di sini kita beranggapan bahwa seseorang tidak akan memberikan jawaban menggantung, tidak ada jawaban, “sebenarnya saya menerima, tapi tunggu saya lulus/tunggu kamu lulus/tunggu kamu sudah kerja/tunggu kakak sudah nikah/dan jawaban-jawaban sejenis lainnya. Jika kita melamar seseorang, maka probabilitas normalnya adalah 50%, karena ada dua jawaban “Ya” dan “Tidak” (dalam rujukan hukum Islam, seorang wanita yang belum menikah, jika “diam” maka bisa dianggap menjawab “iya”, karena diasumsikan ia malu mengatakan “iya”). Nah, pencerahannya adalah dalam situasi normal, maka setiap lamaran yang kita ajukan ke seseorang sebenarnya memiliki probabilitas diterima 50%! (tentunya juga probabilitas ditolak 50% hehehehe), cateris paribus  :P.
Lalu apa makna 80%? Jika kita bersandarkan pada pengertian dan kasus 50%-50% di atas, maka bisa diartikan maksud dari 80% adalah sebuah ungkapan untuk memberikan penekanan atas probabilitas diterima yang lebih besar. Artinya hukum ya-tidak 50%-50% berubah menjadi 20% untuk tidak, dan 80% untuk iya. Dengan kata lain ini adalah sebuah ungkapan yang mengisyaratkan: “Ayo lamar aku duluan, InsyaAllah kamu akan saya berikan prioritas untuk diterima. Kemungkinan ditolakmu amat sangat kecil…”
Konsep Probabilitas ala Saya…
Penjelasan di atas tidak akan selesai begitu saja. Akan ada masalah jika ada yang bertanya, “Kalau memang hanya sekedar memberikan kecenderungan untuk diterima, kenapa gak 75%? Kenapa gak sekalian 99%? Apa bedanya 80% dengan 90%? Bukannya semua ungkapan ini sama saja? Kenapa harus 80%? Apa itu hanya retorika belaka, biar kelihatan cool dan keren?”.

Baiklah, mungkin memang saya dulu tidak sengaja beretorika. Terpaksa saya membuka buku-buku lama saya lagi, dan mungkin jawabannya ada di buku Basic Econometrics buatan Pak Gujarati dan logika yang dipakai cukup berbeda dengan logika 50-50 di atas. Dan mungkin nanti jika ada anak matematika yang membaca artikel ini, ia akan banyak mengkritisi tulisan ini karena mereka lebih mengetahui hakikat probabilitas ketimbang diri saya. Aka tetapi… lagi pula itulah kenapa ini blog ini disebut Ekonom Gila bukan? Hehehehehe. So nekat saja…

Pada Bab  5 yang ngomongin masalah interval estimation and hypothesis, pak Gujarati menyinggung apa yang dimaksud dengan confidence interval atau biasa disingkat dengan CF (biasanya dengan angka 90%, 95%, dan 99%). Misalnya dalam bagian ini Pak Gujarati menerangkan apa yang dimaksud dengan CF 95% dalam sebuah interval nilai 0.4268 sampai 0.5914. Beliau menjelaskan maksud CF itu seperti ini:

Given condition 95%, in the long run, 95 out of 100 cases interval like (0.4268, 0.5914) will contain true β2.   

Tapi beliau juga meningatkan!

We cannot say that the probability is 95% percent, that the specific interval (0.4268, 0.5914) contains the true β2 because this interval is now fixed and no longer random, therefore, either lies in it or does not: The Probability that specified fixed interval include the true β2 is therefore 1 or 0.

Anda bingung? Hahahahaha, Sama saya juga! Mungkin pengertian Gujarati di atas sebenarnya tidak bisa dipakai dalam kasus “dilamar = 80%” saya. Karena di atas adalah sebuah kasus yang harus digunakannya sebuah data empiris, ada observasi, ada standar deviasi, dan CF yang bergabung dan berujung pada sebuah kesimpulan pada diterima atau ditolaknya hipotesis. Tapi mungkin ada baiknya kita menggunakan sedikit pengertian di atas untuk kasus “dilamar = 80%” ala saya. Oke ini ala saya, silakan bagi teman-teman yang ahli matematika mengoreksi secara akademis tulisan ini, eheheheheh.
Terinspirasi dari pengertian CF di atas, saya menggunakan pengertian 80% seperti ini: Dalam jangka panjang dari kasus 100 wanita yang duluan melamar saya, maka 80 lamaran yang ada adalah lamaran yang saya terima. Wah artinya, apa saya punya bakal 80 istri?

Interpretasi Liar…
Baiklah, mari kita kecilkan angka 80% ini menjadi 8 dari 10 atau 4 dari 5. Jadi misalnya dalam jangka panjang ada 10 wanita melamar saya duluan maka 8 lamaran itu saya terima, atau lebih kecil lagi, jika dalam hidup saya (jangka panjang) ada 5 wanita yang melamar saya, maka 4 lamaran itu akan saya terima. Nah, sekarang sudah ada 4 istri, kalau di Islam kan boleh punya 4 istri? Apa ini maunya penulis? Hehehe: Bukan. Itu bukan concern saya, bukan jumlah orang yang diterima, tapi justru jumlah orang yang ditolak.
“Hikmah” dari probabilitas ala saya di atas adalah dapat dijelaskan seperti ini: anggaplah saya memiliki fans 100 orang wanita, dan anggaplah ada pengamatan peneliti peradaban, saat ini 10% dari fans wanita biasanya mau dan rela melamar duluan. Jadi dengan fans yang saya estimasi sekitar 100 orang maka ada 10 orang dalam hidup saya yang akan melamar saya duluan. Maka jika demikian ada 8 yang diterima dan 2 orang yang tidak diterima. Dengan demikian, jika saya konsisten dengan prinsip 80% dan jika kondisi-kondisi soal estimasi fans dan wanita pelamar benar, maka jatah menolak “wanita pelamar duluan” sepanjang hidup saya hanya ada 2 orang. Jika fans saya hanya ada 50 orang sepanjang hidup, maka 5 orangnya akan berani melamar duluan. Dengan prinsip 80% diterima, maka jatah menolak saya hanya 1 orang. Bagaimana jika hanya ada 3 pelamar dalam hidup saya, tidak ada yang bisa saya tolak sedikit pun, karena ketika saya menolak satu orang saja maka rumusnya bukan lagi 80% tapi 66,6%.
Oke apa hikmah dari “logika-logika” di atas? Menjawab pertanyaan dasar di atas bahwa angka 80% ada bedanya dengan 90% dan 70%. Ternyata ungkapan-ungkapan 70%, 80%, 90% menunjukkan perbedaan 1) tingkat kepercayaan diri seseorang atas seberapa banyak jumlah fansnya dan 2) bisa mengetahui seberapa banyak jatah orang yang bisa dia tolak. Semakin tinggi nilai probabilitasnya maka menunjukkan bahwa orang tersebut kurang percaya diri = merasa fansnya sedikit, artinya dia memiliki prinsip “Siapa saja! yang penting mau sama saya…”, Semakin rendah maka bisa dikatakan adalah orang yang sangat pemilih dengan memperbanyak “jatah menolak” = yakin bahwa dalam hidupnya akan banyak yang melamar dia.

Note: ingat bahwa ini adalah kasus di mana kita dilamar oleh seseorang tanpa tendensi/kecenderungan apa-apa, murni tanpa ada chemistry, objektif tanpa ada rasa di hati :p, jadi tidak bisa kita bantah oleh orang yag sudah menikah, “Saya ini pemilih loh, tapi..lamaran pertama atas diri saya saya terima tuh, karena memang saya dari awal sudah suka sama dia! Kosep ini batal!”. Itu kasus dengan asumsi yang berbeda.

Perbedaan Kondisi-Kondisi yang Dibutuhkan
Ingat bahwa 80% itu adalah standard saya pribadi bagi wanita yang “melamar duluan”. Kredit lebih saya berikan bagi mereka yang berani mengambil inisiatif dengan landasan berpikir bahwa di era peradaban saat ini wanita yang berani melamar duluan adalah wanita yang punya perbedaan dan nyali (not ordinary). Mungkin bisa jadi kasus ini bagi wanita berbeda, bagi mereka “Pria Melamar duluan” adalah hal yang biasa, dan tidak perlu diberikan kredit lebih. Tetap kembali ke konsep probabilitas awal 50-50, “iya” atau tidak” (note: konsep 50-50 sebenarnya tidak bisa diartikan jika ada 10 orang melamar, 5 orang adalah jatah ditolak, karena concern-nya di opsi pilihan.”ya” dan tidak”, karenanya probabilitas 50%).
Sebenarnya konsep 80% saya bisa diterapkan menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan. Misal mbak A, “Saya akan memberikan 80% kemungkinan diterima bagi pria yang melamar saya jika dia seorang lulusan S1”, Mbak B, “Saya akan memberikan 80% kemungkinan diterima bagi pria yang melamar saya jika dia adalah seorang yang alim dan faqih dalam agama”, Mbak C, “Saya akan memberikan 80% kemungkinan diterima bagi pria yang melama saya jika dia adalah seorang yang kaya raya, atau Mbak D, “Saya akan memberikan 99,99% kemungkinan diterima bagi pria yang melamar saya jika dia adalah seorang yang lulusan S1, alim dan faqih dalam agama, seorang yang kaya raya dan ganteng…”, ingat: cateris paribus.
  1. Bagi mbak A: Semisal dalam hidupnya ada 10 pria lulusan S1 melamar dia, maka jatah menolak dia 2 bagi kelompok S1 itu
  2. Bagi mbak B: Semisal dalam hidupnya ada 10 pria yang alim dan faqih dalam agama melamar dia, maka jatah menolak dia 2 bagi kelompok alim dan faqih itu
  3. Bagi mbak C: Semisal dalam hidupnya ada 10 pria yang kaya raya melamar dia, maka jatah menolak dia 2 bagi kelompok kaya raya itu
  4. Bagi mbak D: Semisal dalam hidupnya ada 1 saja atau bahkan 100 orang pria lulusan S1, alim-faqih, kaya raya, dan ganteng melamar dia, maka tidak ada satu pun yang “sempat” dia tolak (satu aja belum tentu ada dalam hidup…)

Sama seperti saya, “Saya akan memberikan 95% bagi wanita yang melamar dulu, sholehah dan pinter”, dari 80% menjadi 95%, ada peningkatan probabilitas dan pengertian secara teknis di lapangan akan berbeda.
Hikmah dan Kesimpulan
Bagi orang yang ingin melamar saya: lihat kira-kira seberapa terkenal saya, seberapa keren saya, berapa kira-kira jumlah fans saya, berapa kira-kira orang yang akan melamar saya dalam jangka panjang, lalu cari tahu sudah berapa orang yang saya tolak, lamarlah saya ketika jatah menolak sudah habis dan anda akan saya terima sebagai bentuk konsistensi saya terhadap apa yang saya janjikan pada diri sendiri. Hehehehehehehe
Bagi kita semua (penulis dan pembaca Ekonom Gila): Menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih baik akan meningkatkan probabilitas diterimanya lamaran kita kepada seseorang, karena orang yang kita lamar akan kehabisan “jatah” untuk menolak.
Sekali lagi, mungkin banyak yang akan mengkritik pedas tulisan saya mulai dari konsep probabilitasnya yang ngawur hingga ke masalah “perasaan” hati dan kejelimetan saya soal hal-hal yang remeh temeh ini: Pernikahan, “Sudahlah Aulia, ngapain pusing-pusing hitung-hitung probabilitas, kalau suka ya terima aja, kalau gak suka tolak saja, tidak usah banyak dipikirkan, dirasakan saja….”.
Selama menjalani kehidupan ini, saya akhirnya sadar bahwa masa depan, serapi apapun manusia merencanakan, Allah yang berkendak. Manusia sebatas merencanakan, rencana Allah niscaya lebih indah. Termasuk dalam hal jodoh, kita tidak bisa tahu apakah memang benar-benar pasangan hidup yang ada di depan kita adalah yang terbaik dari kacamata pribadi dan perasaan kita saja, Allah-lah yang akan menunjukkan kepada kita siapa yang terbaik bagi kita, sekali lagi, manusia hanya bisa merencanakan”. Probabilitas yang rumit di atas adalah rencana saya, Allah-lah yang berkehendak di hasilnya. Saya akan kesampingkan emosi dan perasaan saya dalam menentukan sebuah pilihan yang besar dalam hidup saya: Istri, lalu akan menggantinya dengan bersikap objektif dan profesional melalui sebuah rencana dan doa agar selalu diberikan ilham yang benar dan baik bagi hidup dan agama saya. Semua kembali ke Allah…

“..either lies in it or does not: The Probability that specified fixed interval include the true β2 is therefore 1 or 0.”

Selasa, 4 Juni 2013
Waktunya untuk merenung dan merenungkan..

Kasus Tentang Ngutang

Oleh: Aulia Rachman Alfahmy
Ini sebenarnya sebuah kasus sehari-hari yang mungkin sering kita temui, saya tidak tahu apa nama resminya (mungkin yang anak akuntansi bisa membantu), tapi bercerita tentang pengalihan utang. Begini ceritanya, ada tiga orang sahabat, Aulia, Rachman, dan Alfahmy. Aulia ini orangnya suka berutang di sana-sini, hidupnya cukup aneh dan berantakan (kasihan sekali dia!). Rachman adalah orang yang sangat penyayang dengan setiap orang, bahkan terkadang dia rela berkorban untuk orang lain. Alfahmy, adalah orang yang sangat pintar dan cerdas. Seseorang yang sangat paham segala situasi dan apa sumber permasalahan yang sedang dihadapinya.

Pada suatu ketika, Aulia yang gemar berutang meminjam uang sebesar Rp50,000.- kepada Rachman. Tanpa berpikir panjang, Rachman yang dasarnya adalah orang yang sangat pengasih (suka ngasih-ngasih sana-sini hehehe) mengabulkan permintaan Aulia. Jadilah Aulia saat ini berutang kepada Rachman sebesar Rp50.000. Entah digunakan apa uang itu oleh Aulia.

Selanjutnya justru Rachman terkaget-kaget dengan kondisi finansialnya, karena dasarnya hanya belas kasih sosial, dia tidak sempat melihat kondisi pribadi dan kebutuhannya. Ternyata gajinya bulan ini terlambat dibayarkan oleh kantornya. Padahal Ibu kos di mana dia tinggal sudah menagih uang kamar sebesar Rp100.000 (kok murah? Anggap aja ini kejadiannya 10 tahun silam! Hehehehe). Akrhinya dia bertemu dengan Alfahmy.

Rachman meminta pinjaman kepada Alfahmy. Alfahmy, yang dasarnya adalah orang yang paham betul tentang ekonomi, langsung bertanya, “Kapan utang ini akan dikembalikan”. Rachman menjawab, “Seminggu lagi, setelah gaji saya turun, InsyaAllah”. Alfahmy, lalu melihat wajah Rachman dengan seksama dari atas hingga ke bawa (kayak di sintetron-sinetron itu loh!). Sok-sok menilai kredibilitas si Rachman. Lalu menjawab, “Baiklah Rachman, ini saya berikan pinjaman Rp100.000, kembalikan minggu depan. Tidak perlu ada bunga, yang penting uang saya utuh. Kamu beruntung karena saya paham bunga itu haram.” Jadilah Rachman sekarang berutang kepada Alfahmy sebesar Rp100.000.

Seminggu berselang, Alfahmy datang kepada Rachman. “Hai Rachman, mana piutang saya Rp100.000”. Rachman yang sudah dapat gaji tanpa mengelak langsung mempersiapkan uang dari dompetnya Rp100.000, awalnya. Lalu dia berpikir tentang sesuatu dan akhirnya berkata dalam hati, “Ohya! Saya kan masih ada piutang sama Aulia sebesar Rp50.000”. Akhirnya dia mengambil uang sebesar Rp50.000 dari dompetnya dan berkata pada Alfahmy, “Ini utang saya Rp50.000, sisanya Rp50.000 kamu bisa tagih ke Aulia ya, aku masih punya piutang sama dia. Oke kan?”

Dahi Alfahmy mengerut, matanya menyorot tajam Rachman sambil berkata, “Tidak! Saya tidak mau membeli ‘obligasi’ mu yang kamu beli dari si Aulia pengutang itu! Rate obligasinya di mata saya sangat rendah, kamu tidak boleh memaksa saya untuk membeli obligasi itu, tidak ada paksaan dalam jual dan beli”. Rachman bingung, mengapa hal yang simpel dan mudah ini jadi rumit? Kenapa ada kata-kata “obligasi” dan “rate” kenapa ada kata-kata “jual” dan “beli”. Rachman bingung terhadap si Alfahmy yang memang sempat kuliah di ilmu ekonomi itu.

Maksudnya Apa?
Ini adalah cerita simpel soal kasus pengalihan utang yang mungkin sering kali terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Rachman yang lugu mungkin kaget dengan konstruksi berpikir si Alfahmy yang anak Ekonomi ini. Kasusnya sebenarnya simpel.

Dalam dunia ekonomi dikenal obligasi atau surat utang. Jika Anda membeli surat obligasi, itu dalam bahasa “kampungannya” adalah anda memberikan pinjaman alias utang. Maka anda akan berhak memegang surat obligasi. Dalam praktiknya, obligasi seringkali melekat kupon atau rate bunga di dalamnya. Kemudian, di dunia keuangan, obligasi ini juga dapat diperjual-belikan atau berpindah tangan. Jadi cerita di atas adalah cerita di mana tanpa sengaja si Rachman memaksa Alfahmy membeli obligasinya (yang awalnya dia dapat dari si Aulia).

Lalu di pasar obligasi apa yang menentukan harganya? Dasar umumnya adalah bunga atau kupon yang melekat pada obligasi itu. Maka jika kita menggunakan penghitungan berbasis konsep future value of money akan sangat mudah ditentukan berapa harga yang fair dari sebuah surat utang atau obligasi, coba cari di Google apa maksud konsep future value of money ini. Namun, penghitungan ini akan bisa diterapkan kepada obligasi yang berisiko nol (risk free), dalam praktiknya satu-satunya surat utang yang bebas risiko adalah SUN alias Surat Utang Negara (di negara lain tentu saja punya nama yang berbeda, misalnya US dengan treasury bond-nya, bahasa inggris obligasi adalah “bonds”, jadi kalau James Bond apa yang maksudnya? :P).

Namun demikian, obligasi ini tidak hanya dikeluarkan oleh negara saja, perusahaan pun bisa mengeluarkan instrumen keuangan ini. Nah, seiring perkembangan jaman dan dunia finansial sangat berkembang pesat, obligasi-obligasi ini akhirnya turut diperdagangkan juga layaknya saham-saham perusahaan di pasar saham (obligasi dijual di “pasar obligasi”). Maka jika saham sebuah perusahaan memiliki rate maka obligasi pun juga demikian.

Satu perusahaan dengan perusahaan lain punya kekuatan keuangan yang berbeda-beda. Nah, inilah yang akhirnya yang menjadi bobot penilaian atas rating surat-surat berharga yang mereka miliki baik dalam bentuk saham ataupun obligasi. Bayangkan bahwa obligasi adalah sebuah kertas belaka yang di atasnya adalah pernyataan bahwa perusahaan A telah berutang pada Mr. B sebesar sekian. Sekilas Mr.B terlihat kaya karena iya memiliki obligasi perusahaan A, tapi jika ditelusuri ternyata perusahaan A adalah perusahaan fiktif, maka akan sangat menyesal sekali jika ada seseorang yang membeli obligasi dari mr. B ini. Ini namanya obligasi bodong!

Sama halnya dengan kasus Aulia, Rachman dan Alfahmy. Alfahmy menilai bahwa obligasi Aulia itu nilainya lebih rendah dari Rp50.000. Mengapa? Karena reputasi Aulia dalam berutang sudah terbukti buruk. Memang iya, si Alfahmy akan menerima Rp50.000 juga kelak dari Aulia. Tapi usaha untuk membuat  si Aulia yang gemar berutang ini untuk membayar utangnya juga menimbulkan biaya dan pengorbanan, mulai dari pengorbanan waktu, bensin hingga pengorbanan perasaan. Setelah Alfahmy hitung-hitung dalam kepalanya, nilai obligasi Aulia yang dipegang Rachman tidak lebih dari Rp25.000 saja. Maka benarlah si Alfahmy yang sangat cerdas ini bahwa Rachman tidak boleh semen-mena memaksa dia membeli obligasi itu. Adapun Rachman yang sudah terlanjur memberi pinjaman kepada Aulia dengan terburu-buru, menurut Alfahmy itu adalah “salah” Rachman sendiri.

Mungkin, bagi Rachman memberikan utang adalah bentuk amal ibadah dan tolong menolong tanpa memandang siapa yang berutang, toh semua akan mendapat balasan dari Allah SWT. Dia tidak menggunakan itung-itungan rumit ala Alfahmy. Sebaliknya, Alfahmy yang punya dasar berpikir ekonomi yang kuat dan sedikit condong ke arah prinsip dagang yang adil, hanya berpegangan bahwa dalam berdagang tidak boleh ada paksaan dan tidak boleh ada yang dianiaya.
Semua sama-sama benar. Wallahu alam bishawab

Jogja 1 Oktober 2012

Harga Barang dan Moral Manusia

Oleh: Aulia Rachman Alfahmy

Kali ini saya akan sedikit berbicara soal “moral”. Hahahaha, sesuatu yang mungkin sangat diasingkan dari dunia ilmu ekonomi. Tapi, tidak apa lah, sekali-kali kita berbicara sebuah hal yang agak abstrak dan membosankan. Karena kalau tulisan saya bagus terus, jadinya gak normal (emang tulisan saya bagus? :P)

Mungkinkah para pembaca Ekonom Gila yang budiman pernah berpikir sejenak di tengah kegalauan malamnya, di tengah jari-jari yang berdzikir dengan BB sambil berkicau di Twitter atau update status di Facebook, yakni berpikir soal dari manakah datangnya harga?

Pikiran paling awam soal bagaimana harga muncul adalah ongkos produksi. Mbah Adam Smith menjelaskan, yang singkatnya, bahwa harga itu munculnya dari biaya tenaga kerja untuk membuat barang itu, ditambah ‘sedikit’ agar kegiatan produksi itu dapat dilakukan lagi. Jadi misalnya ada pak Ahmad yang berdagang sate rusa, maka harga sate rusa yang dijual dikalikan dengan jumlah unit yang dijual hasilnya lebih besar dari biaya dia menggaji pegawainya untuk memburu rusa, menyewa senapan, menguliti rusa, dan membakar sate-sate di atas bara. Juga tidak lupa biaya untuk membeli tusuk sate, bumbu sambel kacang dan lain sebagainya. Mudah bukan?
Melompat jauh dari masa Adam Smith (percayalah! bahwa pencarian nilai atau harga adalah cerita yang panjang dan penuh intrik seperti sinetron, hahaha lebay, maaf saya melompat-lompat), Karl Marx melihat lebih jauh dari Adam Smith bahwa harga itu adalah dari biaya untuk tenaga kerja (ditambah alat-alat kerjanya), biaya tenaga kerja sebelumnya yang membuat alat kerja produksi tersebut, biaya tenaga kerja untuk membuat alat yang digunakan untuk membuat alat produksi, dan demikian seterusnya. Lalu, Karl Marx mengangkat teori nilai lebih yang sudah saya tulis di awal berdirinya blog Ekonom Gila ini. Nah terlepas perdebatan Marx itu, Eduardo Porter dalam buku The Price of Everything menyimpulkan bahwa dari pikiran Karl Marx ini justru dapat diambil sebuah pelajaran lain yakni, “harga dari barang berkaitan ‘lebih jauh’ atas barang itu sendiri dari yang kasat terlihat”. Maksudnya, terkadang atau mungkin seringkali, harga bukan hanya masalah biaya produksi.
Mau contoh? Buat kamu yang suka minum kopi tapi bukan pakar kopi, mungkin akan terbingung-bingung mengapa harga kopi di Kedai Kopi dan Starbuck sangat berbeda jauh. Mungkin, tidak perlu jauh-jauh harga kopinya, harga ice tea-nya (alias es teh!) saja, pasti sudah berbeda. Tapi mungkin saja bagi mereka yang memang pakar dan penggila kopi akan melihat kopi dari sudut pandang yang berbeda dan akhirnya menjatuhkan nilai atau harga kopi Starbuck jauh di atas Kedai Kopi. Sama seperti kalau kalian pergi ke galeri-galeri lukisan di Bali, bagi yang awam pasti akan terbingung-bingung bagaimana lukisan abstrak gak jelas seorang maestro harganya jauh melangit dibandingkan lukisan abstrak pelukis pemula. Padahal biaya kuas, cat dam kanvas-nya mungkin tidak jauh berbeda. Bapak Adam Smith salah dong? Lalu dari mana datangnya harga itu?
Saya sebenarnya paling suka dengan teorinya harganya Walruss, yakni harga itu ditentukan oleh mekanisme pasar. Coba lihat kasus kopi dan lukisan di atas, faktor yang terlibat di dalamnya amat luas. Mulai dari perspektif konsumen awam, ahli, kapasitas, pengalaman, nama besar dan lain sebagainya. Akhirnya harga dijatuhkan pada pasar. Maka pasarlah yang menentukan harga. Logika pasar tanpa intervensi penguasa adalah simpel, ongkos produksi adalah batas bawah harga, dan harga yang terjadi adalah tergantung oleh kekuatan penawaran dan permintaan di pasar. 
Walaupun jujur saja, saya terkadang masih ‘grogi’ untuk berani mendefinisikan apa itu “pasar”.  Saya hanya sering berpikir dan merenung apakah pasar-pasar yang ada selama ii sudah benar-benar manusiawi? Atau kalau mau pertanyaan yang lebih berbau ekonom ketimbang sosialis, apakah pasar yang tercipta memang benar-benar berujung pada sebuah kesejahteraan masyarakat seperti yang selama ini dijanjikan oleh ilmu ekonomi?
Mengapa demikian? Coba saja, jika kita berikan lukisan Sang Maestro ke sebuah lingkup khusus dan spesifik, seperti misalnya pada suatu kasus: berikan pilihan kepada para keluarga korban perang di Palestina atau Iraq berupa Lukisan Sang Maestro atau Bahan Pangan dan Pakaian, mana yang lebih mereka pilih? Jika harga itu adalah “logika” dasar penentuannya, maka semua manusia akan memilih si Lukisan bukan? Tentu karena harganya yang lebih tinggi? Tapi dalam konteks ini, saya tidak yakin pilihan itu akan dibuat. Lalu mengapa harus ada orang/pasar yang menilai itu sangat tinggi padahal lebih banyak orang lain yang tidak menganggap itu hal yang bernilai?
Kalau mau contoh kompleksitas pasar yang lain dan tidak sesentimentil di atas: misalnya seperti kamu pilihan Es The Kotak vs Hot Coffe Latte Starbuck di hari yang terik seolah-olah matahari ada dua. Mana yang kamu pilih? Prediksi saya adalah para pembaca yang budiman akan memilih Es The Kotak. Dari sini setidaknya dua pelajarannya adalah 1) Pasar itu adalah sebuah entitas yang rumit dan dinamis, sampai-sampai mahasiswa ilmu ekonomi hampir selalu dititipi untuk tidak lupa mengucapkan kata-kata “cateris paribus” di setiap penjelasannya tentang kurva-kurva penawaran-permintaan, 2) Antara harga dan nilai dapat terlihat jelas sedikit perbedaannya, setidaknya menurut saya (dari tadi saya menyamakan dulu term “harga” dan nilai”).
Harga bagi saya adalah apa yang sudah terjadi di pasar, apa yang sudah umat manusia sepakati ketika melakukan transaksi. Seperti harga saham, label harga di toko-toko pakaian, dan lain sebagainya. Nilai adalah dibalik harga, memengaruhi harga, tapi dia lebih kompleks dan menyangkut banyak hal, mulai dari situasi, selera, paradigma bahkan kepercayaan.  Nah,  pencarian nilai-harga inilah yang sudah dilakukan oleh banyak para ahli agama dan ekonom di jaman dahulu hingga modern. Tentang sebuah pencarian nilai, tentang sebuah keadilan, tentang etika manusia, tentang gaya hidup peradaban manusia, tentang kesejahteraan umat manusia. Semua bisa dimulai dari sini.
Baiklah, mungkin para pembaca yang budiman sudah membaca alur berpikir saya yang kali ini cukup jelimet kali ini, bahwa ini adalah kegalauan saya tentang masih banyaknya orang yang miskin dan membutuhkan banyak pertolongan oleh kita, namun di sisi lain banyak orang yang menghambur-hamburkan hartanya (berkaca dari harga yang mereka bayar) untuk sesuatu yang saya pribadi rasakan masih kurang fungsional, relevan dan kekinian dengan kesejahteraan manusia.
“Sayangnya”, saya tahu benar bagaimana konsep teori preferensi individu membangun konsep harga di masyarakat. Saya tahu alur model dan gambar-gambar kurva ala microeconomics yang mengantarkan kita pada rasionalisasi yang solid dan tidak terbantahkan tentang harga. Harga adalah hak mereka bagi manusia untuk memilih atau tidak. Semua diselesaikan secara fair di meja perundingan bernama pasar. Produsen yang meskipun punya andil dalam sebuah inovasi barang dan jasa, mereka pada dasarnya juga tergantung pada daya tarik dari permintaan konsumen. Bahkan mereka jauh lebih mulia karena seringkali menanggung risiko bisnis yang tidak pernah ditanggung oleh konsumen dalam proses inovasi. Konsumen pada dasarnya adalah raja (meskipun memang Say berkata supply creates its own demand).
Akhirnya, mengapa tulisan kali ini saya beri judul Harga Barang dan Moral Manusia karena sebagai manusia biasa dan bukannya pejabat, sebagai seseorang yang hanya menulis di Ekonom Gila, saya hanya ingin mengeluarkan uneg-uneg bahwa salah satu cara untuk memberikan kesejahteraan pada umat manusia bermula dari paradigma preferensi konsumsi masing-masing manusia. Harga bermula dari paradigma, budaya, moral dan kepercayaan individu tentang sebuah perkara atas harga. Yap! Terkadang pemerintah bisa mengaturnya dengan kebijakan dan otoritasnya, tapi benar kata mereka yang anti-intervensi, bahkan pemerintah sendiri terkadang tidak tahu mana yang paling benar, tepat dan optimal. Jadi saya yang orang kecil ini hanya bisa membagikan ide tentang melakukan perubahan dari diri sendiri. Tentang keadilan menilai barang, tentang mendorong inovasi-inovasi umat manusia yang berdaya guna dan barokah, tentang kepedulian untuk berbagi dan menyadari bahwa memang terkadang kita diberikan kelebihan dan sudah semestinya mengikhlaskan hasil kerja keras kita kepada mereka yang lebih lemah dari kita.
Aghh.. tulisan ini kacau sekali :P
28 Agustus 2012
Tulisan perenungan bulan Ramadhan, sambil membaca buku The Price of Everything dan ingin dipost ketika lebaran, namun apa daya, internet di Balikpapan Lemot jadi di-post di sedapatnya.
Selamat Lebaran. Semoga Allah menerima amalan ramadhan saya, kamu dan kita semua. Aamiin

Teka-Teki Opportunity Cost

Oleh: Aulia Rachman Alfahmy
 Ada satu teka-teki unik di Ilmu Ekonomi yang menguak sebuah kenyataan yang pahit: bahwa para mahasiswa dan doktor lulusan Ilmu Ekonomi masih banyak yang tidak mengerti salah satu konsep dasar dalam Ilmu Ekonomi: opportunity cost. Loh kok bisa? Ya bisa-bisa saja. Sebelum kita mencari tahu mengapa, ada baiknya kita simak dulu sebenarnya teka-teki semacam apa sih itu? Baiklah, jika kamu memang mahasiswa ekonomi dan ekonom sejati, maka jawablah teka-teki ini. Begini teka-tekinya:
Kamu memenangkan tiket gratis untuk menonton Eric Clipton (tiket ini tidak bisa kamu jual ulang). Di malam yang sama, Bob Dylan juga sedang melangsungkan konsernya, dan menonton Bob Dylan adalah alternatif terbaik untuk aktifitasmu malam itu. Untuk menonton konser Bob Dylan, panitia menjual harga tiket sebesar $40. Dalam diri Kamu sebenarnya rela membayar maksimal $50 untuk menonton Bob Dylan. Dengan asumsi tidak ada kos yang lain untuk menonton salah satu pertunjukan, maka berapakah opportunity cost yang kamu hadapi jika pada malam itu kamu memutuskan untuk menonton Eric Clipton?
A. $0
B. $10
C. $40
D. $50
Sebelum melihat jawabannya di bawah, ada baiknya kamu menjawab dulu dalam hati, mana jawaban yang menurutmu paling benar. Sudah?
Sebelum menjawab, mari kita bahas sedikit apa definisi paling mudah dari opportunity cost. Dari semua definisi yang pernah saya pelajari, maka yang paling mudah untuk diingat adalah: opportunity cost adalah kesempatan terbaik yang hilang. Pada banyak pilihan, ketika kita memilih satu hal, maka yang menjadi opportunity cost­­-nya adalah hanya kesempatan yang terbaik saja.
Nah, maka dari konsep di atas, jawaban dari teka-teki di atas adalah $10. Loh kok bisa? Mari kita lihat sebenarnya kesempatan terbaik apa yang hilang jika kamu menonton Eric Clipton.  Biaya untuk membeli tiket Bob Dylan adalah sebesar $40 padahal kamu rela membayar maksimal $50 untuknya. Nah, kalau kamu ingat, berarti sebenarnya kamu memiliki apa yang dikenal dengan “surplus konsumen” sebesar $50-$40 = $10. Inilah kesempatan terbaikmu yang hilang jika kamu memutuskan untuk menonton Eric Clipton. Apakah kamu termasuk yang menjawab salah?
Fakta Menarik
Pertanyaan di atas bukanlah hanya sekedar anekdot yang berkembang di kalangan Ilmu Ekonomi. Pertanyaan di atas adalah sebuah penelitian yang sempat dilakukan oleh Paul Ferraro dan Laura Taylor untuk menguji perbedaan pemahaman konsep-konsep dasar Ilmu Ekonomi antara “kalangan ilmu ekonomi” vs kalangan non-ilmu ekonomi. Hasilnya cukup mengejutkan.
  1. Ketika pertanyaan ini ditanyakan kepada 270 mahasiswa yang pernah mengambil mata kuliah ilmu ekonomi, maka hanya 7,4% yang menjawab benar. Namun ketika ditanyakan pada mahasiswa yang belum pernah mengambil kelas ilmu ekonomi, maka yang menjawab benar justru lebih tinggi: 17,4%. Ingat! Dengan hanya 4 pilihan jawaban, kemungkinan benar untuk menjawab pertanyaan ini adalah 25% (jika menjawab dengan random). Dengan kata lain, jika opportunity cost adalah konsep yang sulit, at least ada 25% yang bisa menjawab benar. Tapi yang terjadi adalah adanya kecenderungan pemahaman yang salah atas opportunity cost oleh mahasiswa ekonomi.  Banyak mahasiswa Ilmu Ekonomi yang sudah merasa benar atas jawabannya, akan tetapi ternyata itu adalah jawaban salah.
  2. Ketika pertanyaan ini ditanyakan kepada 199 para profesional di bidang ekonomi, maka hasilnya adalah 21,6% responden menjawab benar, 25,1% responden menjawab A ($0), 25,6% responden menjawab C ($40) dan 27,6% menjawab D ($50).
Pada akhirnya, Paul Ferraro dan Laura Taylor menarik kesimpulan bahwa banyak buku teks Ilmu Ekonomi yang kurang mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan meresap ke hati sanubari mahasiswanya (caeeellahh..). Akhirnya, salah satu konsep dasar terpenting dalam Ilmu Ekonomi, opportunity cost, masih banyak yang kurang bisa mengerti dan memahaminya.
Teka-teki ini pertama kali saya temukan dari teman saya, Marcella Chandra (yang sekarang jadi Pengajar Muda di Pulau Rote) yang dia kuiskan kepada saya, dan dua rekan saya yang lain, Andhisa Hapasari dan Syarif Hidayatullah (yang baru aja nikah, dengan kenang-kenangan buku EG!) pada sekitar tahun 2007-2008. Sejujurnya, dari kami bertiga, sayalah yang menjawab salah! Hahahahaha, sialan. Tak lama kemudian, saja juga tahu bahwa salah satu dosen IE di kampus saya (yang ternyata masih berteman dengan si Bapak Paul Ferraro) juga menggunakan pertanyaan ini sebagai salah satu soal di ujian semester (hayo yang anak IE UGM, siap-siap aja, siapa tahu nanti keluar soal ini). Jadi, bisa dikatakan mungkin teka-teki ini sudah menjadi teka-teki yang umum bagi anak Ilmu Ekonomi.
Kasus ini membuat Robert H Frank menulis sebuah buku berjudul The Economic Naturalist: Why Economics Explain Almost Everything. Sebuah buku yang menjanjikan pemahaman yang mudah dan ringan dari Ilmu Ekonomi kepada para mahasiswanya karena ternyata masih banyak dari para pencari ilmu ekonomi yang kurang mendapatkan konsep pemahaman yang tepat. Jawaban saya yang salah atas pertanyaan di atas, membuat saya bersemangat untuk membangun blog Ekonom Gila!
6 Juli 2012
Setelah sekian lama hibernasi, saya akhirnya nulis lagi! hahaha, maap2

Lagi-Lagi Soal Emas (part 1)

Oleh: Aulia Rachman Alfahhmy

Sudah lama saya sangat ingin menulis artikel masalah emas ini. Tapi dalam bayangan saya, nulis hal ini akan butuh artikel yang panjang. Nah, artikel sebelumnya dari Munadi “yang-berjudul-sangat-panjang” itu, sangat membantu saya dalam menjelaskan masalah ini dengan lebih sistematis dan singkat, ada baiknya sebelum membaca artikel ini, pembaca yang budiman mebaca dulu artikelnya mas Munadi pada post sebelumnya.
Ya, artikel ini lagi-lagi membahas apa yang selama ini dikenal dengan bisnis “berkebun emas” atau apapun kalian menyebutnya, tapi yang jelas bisnis melibatkan setidaknya 2 elemen penting 1) emas; 2) pegadaian (syariah). Belakangan ini bisnis ini heboh dibicarakan masyarakat. Beberapa teman saya, baik di dunia maya dan nyata menanyakan hal ini kepada saya, baik dari sisi 1) soal rasionalisasi bisnis sampai pada pertanyaan 2) “apakah bisnis ini halal atau tidak?”, khusus pertanyaan no.2 adalah sebuah pertanyaan yang sulit sekali! Mungkin butuh menjadi ulama yang ahli hukum Islam yang juga mumpuni soal dasar-dasar teori ekonomi, utamanya masalah finansial dan moneter agar bisa menjawab pertanyaan itu dan ber-ijtihad dengan lebih komperhensif. Anyway, mari kita lanjutkan kembali ke masalah emas ini.
Pertama-tama, sebagai orang yang belajar ilmu ekonomi, saya termasuk orang yang konservatif dalam memandang segala kegiatan perekonomian dalam kehidupan manusia. Jadi, setiap ada segala sesuatu mekanisme yang keluar dari “kodrat” alamiah (gak make sense atau gak rasional), saya seketika itu juga akan langsung skeptis dan pesimis atas mekanisme tersebut. Insting ekonomi saya seolah-olah mengatakan “Pasti ada yang salah di dalamnya!”. Termasuk dalam bisnis “berkebun emas” yang beberapa waktu terakhir ini heboh. Bahkan sampai-sampai salah satu harian besar di Indonesia membuat semacam laporan khusus dan membuat walkthrough berbisnis kebun emas ini. Luar biasa.
Mungkin bagaimana bisnis emas dijalankan, artikel dari saudara Munadi pada posting sebelumnya sudah panjang lebar membeberkan rahasianya. Bahkan jika saat ini para pembaca budiman punya uang Rp8 juta rupiah, maka saat ini juga anda semua sudah bisa langsung menjalankannya. Luar biasa, dari perhitungan dengan modal Rp8juta saja, setahun anda sudah bisa memiliki ROI 61.5%. Sebuah angka yang tinggi!
Lalu “Salahnya” Di Mana?
Entah, sebenarnya saya sangat menghormati sikap orang lain yang mengatakan bisnis macam itu adalah riil, konkrit dan hasilnya nyata. Tapi, sebagai seseorang yang belajar ilmu ekonomi, dan punya paham rada klasik dan konservatif, hati saya menolak-nolak semua praktik ini. Baiklah, saya harus saya akui, ini mungkin bicara masalah paradigma dan keimanan. Jadi maafkan saya jika menggunakan term “salahnya”. Tapi setidaknya saya punya alasan-alasan logis di balik sikap ini.
Pertama, yang membuat hati saya gundah adalah berubahnya orientasi “menggadaikan” barang menjadi sebuah wahana investasi yang sebenarnya sangat dekat dengan aset-aset yang bersifat utang.  Menggadai barang sudah jauh dari sifat, “kebutuhan mendesak”, seperti cerita humor dosen-dosen saya yang konon dulu rajin ke pegadaian tiap akhir bulan untuk bisa sekedar mencari uang makan karena “wesel” belum dikirim. Juga, bagaimana seseorang yang salah satu anggota keluarganya sakit, membutuhkan uang cair, lalu pergi ke pegadaian yang konon “menyelesaikan masalah tanpa masalah”, demi kesembuhan keluarganya itu. Semua itu, sejak menyeruaknya bisnis emas ini, sudah tidak ada lagi. Pegadaian sekarang lebih seperti “produk investasi” yang ramah terhadap akal-akalan investor alias si kapitalis.
Kedua, kalau memang ini sebuah usaha, maka usaha ini sarat akan aset berbasis utang, dan bisnis yang sarat akan utang akan mudah digoyang dan punya dampak multiplier yang menyakitkan banyak orang. Coba baca lagi tulisan Munadi, maka disitu akan jelas terlihat posisi akhir neraca keuangan yang bersangkutan didominasi oleh utang. Dari yang aset normal 8 jt, menggelembung menjadi aset di atas kertas 20 juta (proses leverage-nya sebesar 12 juta, dan ini sebenarnya utang!). Dalam dunia keuangan terkadang utang memang sangat sakti dalam pencitraan laporan keuangan. Tapi di balik itu semua, aset itu seperti ditopang oleh pilar yang rapuh, yang kalau pilar itu runtuh maka hancur semua nilai-nilai di atasnya menjadi debu di muka bumi.
Apa yang membuat dia hancur? Aset 20 juta ini sebenarnya seperti stok barang dagangan yang siap dijual kembali. Rumus sederhana kebangkrutan adalah jika harga pokok (Kalau kata Pak Suwardjono, yang benar “Kos Barang Terjual”) lebih besar dari harga jual di pasar. Dan kapan itu terjadi? Ketika pengusaha salah mengestimasi atau ketika harga barang dagangan di pasar itu jatuh. Voila! Siap-siap aja tutup usaha. Dan ingat, barang dagangan itu dibiayai utang loh.
Ini dia titik krusialnya! Seni dari mata seorang yang belajar ekonomi bermzahab klasik nan konsveratif. Oke…banyak yang mengatakan,  “Harga emas kan selalu meningkat? Jadi bisnis emas ini pasti akan untung terus, mustahil rugi (red: rugi secara nominal), jadi ini bisnis yang prospektif”. Dan banyak lagi yang bersyukur karena ada produk pegadaian syariah yang ramah terhadap pemodal (karena tidak mengenal bunga). Konon, hanya Rp3000,- per gram emas gadaian sebagai ongkos titip (per gram bisa dapat dana cair Rp400ribu), jadi ongkos kirim sebenarnya equivalent dengan tingkat bunga 0.75% per bulan. Saya sampai mengulang-ulang menghitung rasio ini di kalkulator, apakah angka ini benar! Ya Allah benar cuma 0.75% per bulan yang kalau setahun sama dengan 9% (anggaplah ini cost of capital). Nah, dari bisnis kebun ini (berdasarkan tulisan mas Munadi) ROI nya bisa mencapai lebih dari 60% per tahun… Luar biasa bukan selisihnya? (cara mudah mencari rate keuntungan bisa didapat dari selisih ROI dan cost-capital).
Lalu pertanyaan selanjutnya, “Loh kan emang begitu adanya Ul! (nama panggilan akrab saya), salah siapa coba emas bisa naik harganya bisa 30% per tahun? Salah gue? Salah temen-temen gue? Udah nikmati saja!” Baik. Ini justru yang sebenarnya harus kita bedah lebih dalam. Mengapa emas bisa harganya melonjak hingga 30% per tahun? Selain itu, pengetahuan akan ini yang sebenarnya bisa menjadi landasan para “mujtahid” di masa akan datang bisa berijtihad soal masalah ekonomi. Hahahha sok Alimm ni gue.. :P…
Bagaimana Harga Terbentuk
….(bersambung)
InsyaAllah saya lanjutkan tulisannya kapan-kapan… capek nulisnya euy…
:P