"Pause" Paus

*pencet* tombol “pause > *bunyi -klik-* >  pause


*Tarik napas…*
*rasain alirannya,-*
*buang napas…*

Hehehhe… saya belum tau (lebih tepatnya, malas mencari tahu) padanan kata yang tepat untuk kosa kata dari bahasa Inggris, yaitu: “pause“, dalam bahasa Indonesia.

*Tarik napas lagi…*
*rasain alirannya,-*
*buang lagi napasnya…*

Lalu berhubung kata “pause” mirip dengan model pengucapan nama hewan “paus”, 
Saya malah merasa 2 kata ini memang ditakdirkan untuk bersanding & saling menemani dalam kolom judul tulisan ini.

*Tarik napas lagi…*
*rasain alirannya,-*
*buang lagi napasnya…*

— selanjutnya lanjut sendiri ya, gak perlu saya komando, yg penting rasain dengan sadar aliran napasnya… —


Kenapa Paus ?

Tentu bukan karena Saya suka Paus, tapi lebih tepatnya karena suatu momen yg mirip jawaban,
 atas pencarian Saya akan ide untuk ditulis dalam blog ini dalam beberapa hari terakhir, berkaitan erat dengan pemicu awal mula rasa suka saya terhadap paus ini

^^^ sumpah, kalimat di atas itu, bener2 rumit, gw sendiri heran kok bisa muncul berentet gitu, mungkin itu efek suasana jam 3 pagi…

>>> Kuncinya: “London Whale“, selanjutnya, biar komik yg berbicara:



Paus ini berasal dari salah satu awak Big Boys terbongsor yang bahkan CEO sekaligus Chairman-nya sering dianggap sebagai “perwakilan” dan “juru bicara” tak resmi dari kaum sejenisnya.

Naaah, yang seru (Saya tadi nyebutnya “momen”)kemarin pagi muncul berita kalau Bank peternak paus ini (ingat, kerugian yg diceritakan di komik itu disebabkan dari 1 trader) berencana untuk menerapkan “pause” sejenak dari suatu unit operasinya…

Berikut beritanya:

J.P. Morgan Aims to Trim Ties to Foreign Banks

“It’s important for us to pause and assess our business, particularly in select markets, to ensure we are well-positioned to meet our responsibilities for the long term,” a spokesman said.

 Sumber WSJ

Menarik sekali menurut Saya, bagaimana organisasi yang bergerak di suatu bidang yang terbilang amat riuh, sibuk dan juga (dibikin) vital bagi perekonomian dunia masih berniat atau menyempatkan diri untuk “pause“.

Soal kenapa riuh?
karena Peternak paus ini bukan bank biasa, mereka punya divisi brokerage, M&A, Asset Management, dan Trading juga. Liat aja keadaan di trading floor NYSE, gk kurang riuh tuh…

Soal sibuk, ya orang si kalo udah kerja nyari duit pasti sibu tong…

Soal kenapa sektor perbankan vital, Saya juga belum bisa mengolah jawabannya, tapi ngeliat gimana hebohnya BLBI
(kehebohan di tanah air sendiri gk cukup cuma 1sumber, nih ane tambahain:
definisi asli BLBI
kronologi BLBI
berita2 BLBI ;
Pak Kwik bahas BLBI ;
bonus bacaan soal TARP di USA)
nampaknya sektor perbankan ini dipandang berisiko tinggi dan amat dilindungi
(bank gak jelas aja ditombokin Pemerintah pake duit pajak rakyat, apalagi Bank gede…;)

Nah,kenapa “pause” ?
Tebakan Saya si, bisa jadi sang Penangkar Paus ini merasa malu karena masuk daftar tombokan Pemerintah negaranya, sehingga mutusin untuk “pause” sejenak dan melihat ke dalam diri, yang tujuannya menurut jubirnya:
meraih penempatan posisi terbaik dalam usaha mencapai tanggung-jawab2 jangka panjang organisasinya.

Bicara “penempatan posisi” berarti berada di posisi / melakukan hal, yang tepat dalam suatu keadaan, demi meraih / menjadi lebih dekat dengan tujuan (semisal: profit).

Gimana taunya kita sedang di “posisi” mana / apa ?
Pastinya kita kudu tau big picturedari keadaan terkini.

Gimana caranya tau latest real big picture ?
Kita kudu selalu in-tune dengan market dan semua aspek kehidupan di dunia.

Kalo udah gini, kita jadi bisa ngeliat apa yg dibilang orang “kesempatan emas” atau “opportunity” serta “jebakan betmen” aka “thread”.

Nah, tapi kan itu kalau  “kata orang”, gimana caranya kita bisa tau mana yg “bener-bener” atau “asli” berbentuk kesempatan atau bahaya untuk diri kita ?

Ada yg bilang gak ada hal yang terjadi secara kebetulan, jadi urutan segala kejadian itu sudah terjadi secara apa adanya dan sebenarnya banyak banget artinya (kalau digali).

Pak Dosen Audit II pernah berkata:
Gak ada gunanya itu semua ilmu-ilmu dari luar, mau dari buku mau dari Ortu, mau dari Saya. Kalau kamu gak tau apa itu S&W kamu sendiri.

Ternyata gak cuma soal penginderaan akan O&T yang kurang maksimal,
melainkan input-inputbernutrisi tinggi pun bisa berisiko jadi mubazir.
Gak enak lagi kalo ngalamin yang namanya, “information overload”, dimana kita gak tau input mana yang sebenernya berguna untuk diri kita.

Nah, yang namanya belajar itu kan pake beberapa aksi, seperti:
cari, baca, dengar saring, dan tanya.

Kalau yang digali itu S&W, yang terutama ya…
kamu harus sadar sepenuhnya,
dan aksi yg dipake itu adalah:
sendiri, nutup mata, relax, fokus ke dalam (misal: napas, denyut2) dan sadar(jangan jebol tidur).

Jadi demikian dulu,
Saya udah klenger dan mau pause dulu.

Temet Nosce,-
if it isn’t wide spread into the folk
then it is not worth called as hoax

if not much cash has come from making firework
then let’s make love, even if it only were transmitted via plurk
badger hibernate, life’s escalate, human does it trough “pause”
my Mom loves noodle, so do I, but I love doodle a bit more
so go have your google, cause lots of info are false
or just sit back and relax, do feel the air & your pulse

by Petaniuang

Jungkat – jungkit Ekonomi 2

Ekonomi adalah permainan.
Bahagia ada dalam proses dan tujuannya.

Dalam permainan, ada menang, ada kalah. 
Kalau di olah raga, hal ini sulit ditebak. 
Tapi, kalau di ekonomi…

Hidup makmur berarti menang, 
hidup miskin berarti belum pernah menang.

Dasar permainan dan daftar pemain besar, 
sudah dibabar di Jungkat-jungkit 1.

Seorang Maha Suhu Trading pernah berkata:

kalau kita berbicara tentang uang pada 1000 orang
1000 orang akan paham

kalau kita berbicara tentang harga pada 1000 orang tersebut
hanya 100 orang yang paham

kalau kita berbicara tentang ekonomi moneter pada 100 orang yang sama
hanya 10 orang yang bisa memahami

saat kita berbicara tentang bank pada 10 orang tersebut
hanya 1 orang yang akan memahami 

Kutipan di atas bicara soal tugas dari Bank Sentral: Mengatur jumlah uang beredar; Mengontrol pergerakan hargaMenjaga kestabilan moneter negaranya; serta Mengawasi aktivitas perbankan di negaranya.
Hal seperti ini ada hampir di seluruh dunia.


USD adalah “bos” dari semua mata uang di dunia sejak 1944 -mid 1970. Dalam sistem Bretton Woods ini, nilai mata uang di seluruh dunia dipatok pada USD, lalu nilai USD dipatok pada emas.

Pada tahun 1971, sistem pematokan nilai tukar sebesar $35 untuk setiap ons emas ini dicabut. Nilai mata uang selain USD pun mengambang. Aksi Presiden Nixon ini dikenal dengan sebutan:

Kebijakan ini ditentang keras oleh berbagai aliran ekonomi non-mainstream, contohnya Austrian School.
Bahkan akhir-akhir ini banyak pelaku ekonomi menyalahkan kebijakan ini sebagai pemicu munculnya fenomena seperti: nyangkutergagalnya usaha 2 negara Asia menyaingi USA; makin pendeknya jeda antar krisis finansial; serta pertumbuhan ekonomi semu memanfaatkan siklus boom and bust.

Walau demikian, bumi berputar, waktu berlari, bisnis terus bergerak, show must go on

Meski tidak lagi dipatok pada emas, posisi USD sebagai world reserve currency tidak goyah.
Bahkan krisis terhebat setelah Great Depression, yaitu Krisis perumahan USA 2008 kemarin pun tak mampu menggantikan posisi USD sebagai cadangan devisa utama.

Lagipula, coba bayangin, kalau USD melemah atau collapse, negara-negara berkembang juga yang apes, cadangan emas dan peraknya tiris, tiwas selama ini ngotot nimbun USD buat gemukin cadangan devisa
(ini juga salah satu syarat meraih gelar “investment grade”  looh).

Tapi tetep si alasan utama negara-negara tetap nimbun USD ya biar hemat biaya konversi, pas beli commo, yang label harganya ditulis dalam USD.

 Pada suatu ketika, ada negara yang berniat untuk menjual hasil produksi vitalnya, HANYA dalam EUR ataupun emas.        Tak lama berselang, ada patung yang diturunkan di negara itu.

Cukup soal sejarah, saatnya main !!!

Perhatikan ilustrasi berikut ini:

Ketika Rupiah menguat, maka jika:
Indonesia beli  (import) : Harga produk made in China makin murah, lebih banyak commo didapat.
Indonesia jual (eksport): Harga hasil produksi dalam negeri yang dijual ke luar negeri, makin mahal.

Giliran Rupiah melemah, maka ketika:
Indonesia beli (import)  : Harga produk made in China makin mahal, lebih sedikit commo didapat.
Indonesia jual (eksport): Harga hasil produksi dalam negeri, yang dijual ke luar negeri, makin murah.

*Saya memakai istilah “made in China” sebagai penghormatan atas kemampuan negara itu memenuhi rak-rak pusat perbelanjaan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Walaupun memang masih ada made in…, made in… lainnya.

Mari kita gali efek pembelian barang dari luar negeri (import):

Dari sisi konsumsi, kemiskinan membuat rakyat Indonesia lupa kualitas dan menggemari barang murah. Produk made in China pun jadi solusi, selain itu produk jenis ini juga membuka peluang usaha bagi banyak pengusaha pemula, karena akses dan persyaratan modal yang dirasa lebih ringan.

Dari sisi produksi, produk made in China memicu kreativitas dan efisiensi badan usaha lokal (efisien bukan berarti potong gaji, kadang geser posisi mesin dan colokan listrik bisa jadi solusi).

Ada keuntungan, ada pula risiko, yaitu: pembunuhan industri lokal. Begini kira2 reka ulangnya:

.Oversupply produk made in China (udah tu barang aslinya murah banget, eh, jumlahnya juga banyak bener)

2. Memicu perang harga (lomba nurunin harga, yang penting barangnya abis).

3. UMKM yang gk bisa bertahan akhirnya bangkrut
(namanya juga usaha kecil, duit seret coy ! daripada potong gaji pegawai ngamuk, ya mending tutup sekalian)

4. Para pekerja UMKM yg tutup pun nganggur, dan ketika tangis anak mulai ngalahin raungan knalpot bajaj, putus asa pun menyerang (neosep kagak bisa jadi obat ! lah duit buat beli juga kagak ada !).

5. Maka sang pengangguran pun berpotensi jadi penjahat dan lingkungan a’la Gotham pun jadi nyata
(tinggal nunggu pahlawanan bertopeng deh, yg pas doi baru muncul aja, langsung pada ngibrit tu penjahat).

Sekarang kita liat efek pas jual barang ke luar negeri (eksport):

Para eksportir berjasa menyumbang USD ke cadangan devisa negara.
Selain membuka lapangan kerja (yg relatif besar, terlepas urusan modal), mereka juga menjadi “duta” bagi nama dan kualitas Indonesia di dunia internasional.

Gak cuma eksportir maupun importir yg terlibat, pengusaha yg ngandelin pasar lokal juga bisa kena, kalau ada bahan baku-nya yang dibeli dari luar negeri.
Harga bahan baku import ini nanti ngaruh ke ongkos produksi, yg ujungnya ngaruh ke laba, dimana kalo ngambil untungnya aja udah dikit (profit margin), mau gk mau para produsen akan naikin harga jual.

Kalo banyak pengusaha yg naikin harga jual,  maka inflasi akan naik, peristiwa DOMPET JEBOL pun akan marak terjadi.

Apalagi, kalau demi nyelamatin pasokan bahan baku, si pengusaha terpaksa “merumahkan” pegawainya, ya gak asik tu judulnya (pahlawan bertopeng juga ni ujung2nya)

Maka, secara garis besar, 
Fundamental ekonomi suatu negara, tergambar dari nilai tukar mata uangnya, Vice Versa.
Q: Dari tadi yg disebut tu pengusaha sama penggangguran. Nah, kalo kita bukan pengusaha, masih karyawan (baik di swasta maupun negara), dan gaji masih jalan, apa pengaruhnya ???

A: Pengaruhnya banyak, cuman biar gk ribet. Intinya mau gimana pun Kamu bisa ambil untung dari aksi Bank Sentral.

Q: Kok bisa ? Gimana caranya ?

A: Cekidot:

* Aksi pada Suku Bunga
Kerjaan Bank Sentral tu fokus ngatur Bunga, makanya Kamu wajib catat ni jadwal rapat Bank Indonesia.
Bunga itu, ibarat pengatur kecepatan ekonomi (cek lagi Bagian 1 klo bingung).
– Saat ekonomi gerak terlalu lambat, BI akan nurunin suku bunga –
Kalau suku bunga turun, ini saatnya ambil utang !
  • Buat buka usaha
  • Buat beli rumah
  • Buat beli mobil
  • Buat beli mesin cuci, dan jangan utk beli hp (ya kali beli hp sendiri ngutang, malu lah !)

Itu aja ? Masih banyak… bunga turun tu berarti BI ingin ekonomi bergairah, berarti…
  • Beli saham produk branded, saham produsen alat berat industri, alat berat di rumah tangga, mobil, motor, dan benda2 mahal dan gede lainnya.
  • Beli saham penghasil energi untuk ngasih tenaga pembangunan ekonomi (gas, batu bara, minyak)
  • Beli saham produsen teknologi dan elektronik 

– Saat ekonomi gerak terlalu cepat, BI akan naikin suku bunga –
      Ini saatnya pilih2 berbagai aset investasi:
  • Kalo kamu pemula dalam investasi, ini waktu yg enak banget untuk ambil deposito. Mau milih 1, 3, 6 bulan atau setahun ? liat prospek ekonomi… (kalo kira2 bunga bakal naik terus, ya ambil aja yg per 1 bulan sekalian, biar compound interest-nya)
  • Bunga naik berarti laba bank (minimal, secara nominal) akan naik. Jadi kamu bisa beli saham Bank.
  • Selain saham Bank, semisal keadaan mulai menyerempet krisis, segera beli saham kebutuhan sehari-hari (mau krisis tetep mandi plus ngerokok dong) atau kebutuhan dasar (telpon, listrik, air).
  • Bunga naik berarti ekonomi melambat, kalo ternyata bunga udah beberapa kali naik, dan ekonomi keliatan akan terus melambat, Kamu bisa beli emas atau USD.

Pada masa ini, semua orang akan hati-hati sekali menggunakan uang, karena BI sendiri pengen memperlambat ekonomi. Karena kalo ekonomi jalan kenceng terus2an, itu yg namanya inflasi bisa naik tinggi dan otomatis bikin kantong Kamu dan orang2, jebol sejebol jebolnya…

Q: Udah, itu aja ?
A: Masih ada 1 lagi, inget2 kalimat di bawah ini:

Dalam jungkat-jungkit ekonomiThe Federal Reserve adalah pemain terpenting. 


Setiap hasil pertemuan The Fed wajib diperhatikan!

 Segala kebijakan The Fed akan memengaruhi keputusan pada  dan bank sentral lainnya, termasuk BI.

Q: Ok, terus ada lagi ?

A: Iya, klo ada waktu, tolong baca buku bikinan Si Bapak Ekonomi di bawah ini:


Judulnya “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations”,  
Minimal, baca Chapter IV yg udah ada di link di atas, dari situ niscaya dapet pencerahan lebih lanjut soal uang.

Q: Ada lagi ?

A: Ada sih, coba mulai sekarang rutin baca berita sama liat
chart IHSG,
Chart USD/IDR, sama
chart harga emas.

setiap hari,-

Udah, itu aja,

sekian.

Apa itu sanering/redenominasi?

Oleh: Aulia R.

Beberapa waktu lalu sempat BI sedang ramai mengkaji masalah redenominasi (sanering?). Diskusi ini pun tidak luput dari diskusi-diskusi di lingkungan saya. Sebagai seorang sarjana ekonomika yang belum diwisuda :) dan memang menyukai kajian moneter terutama soal uang, saya merasa harus membuat sebuah notes untuk mendiskusikanya. Ingin rasanya mendiskusikan hal ini di kelas kuliah, tapi apa daya, saya bukan mahasiswa lagi…Jadi salah satu caranya adalah dengan membuat notes. Note ini isinya pandangan saya dan juga sebenarnya sebuah pertanyaan kepada para pembaca soal isu ini. Karena sampai hari ini, saya berbeda pendapat dengan beberapa teman dalam mendiskusikan apa itu dan apa dampaknya. 

Baik isu dalam tulisan ini adalah 1) Apa itu sanering dan Redenominasi 2) Apakah sanering dan redenominasi beda atau sama? 3) Apakah buruk atau baik?
Apa itu sanering/redenominasi?
Nah, meskipun saya dan beberapa teman saya masih berdebat apakah sanering dan redenominasi itu sama atau berbeda, yah…pada intinya keduanya memiliki sifat yang sama, yaitu sama-sama ada penguranganya nilai di atas kertas atas uang yang sedang beredar. Nah, misal uang Rp1000 kemudian diubah menjadi hanya senilai Rp500 atau Rp 1000 diubah menjadi hanya Rp1. Yup keduanya sama-sama mengubah “nama panggilan” dari sang uang. “Hei! Seribu rupiah apa kabar?” berubah menjadi “Hei satu rupiah apa kabar?”
Tapi apakah berbeda atau sama keduanya? Ini yang saya masih bingung. Tapi bagi saya keduanya berbeda. Kalau redenominasi itu adalah benar-benar pure mengubah nama panggilan, kalau sanering bagi saya bukan hanya mengubah nama panggilan, akan tetapi juga sampai ke daya beli.
Begini, kalau redenominasi, dulu lotek harga Rp 1000… ya pasca redenominasi, saya bisa membeli lotek dengan harga Rp 1. Jadi kalau saya punya uang awalnya Rp 1000 terus tiba-tiba berubah menjadi Rp 1 dan saya adalah penggemar lotek, saya tidak perlu khawatir, karena secara seketika itu pula sang penjual lotek mengubah harga jualnya jadi Rp 1. Kebutuhan perut saya pun aman. Daya beli saya tetap. Jadi ini adalah kebijakan berdampak teknis belaka (misal si tukang lotek harus membuat daftar menu-harga yang baru). Ok, lalu apa beda dengan sanering?
Pertama bagi saya sanering adalah salah satu KEBIJAKAN untuk mengurangi inflasi. Coba deh teman-teman buka buku Ekonomi SMA kelas 3, cari macam kebijakan-kebijakan yang digunakan dalam menahan laju inflasi, salah satunya adalah sanering. Salah satu cara mengurangi inflasi adalah mengurangi peredaran uang di masyarakat (sori, bagi yang non-ekonomi pasti akan bertanya mengapa? Tapi coba terima dulu bulat2 ya! :P ). Nah si sanering tadi tujuannya adalah memang benar-benar mengurangi jumlah uang beredar di masyarakat. Misal uang beredar di masyarakat Rp 1000000000000 (alias satu triliun) terus sama pemerintah/BI, uang dipotong nilainya jadi setengah, jadi uang saya yang tadinya Rp 1000 jadi 500, maka secara agregat uang beredar jadi Rp 500000000000 (alias 500 miliar). Maka secara jelas kita melihat adanya penurunan seketika uang beredar di masyarakat dari 1 T ke 500M. Uang beredar menurun so… inflasi menurun (cateris paribus). Ok, sampai di sini paham?
Loh jadi asik dong, inflasi turun (bisa juga terjadi malah deflasi), harga turun? Eits,jgn senang dulu di sini daya beli kita juga benar-benar turun. Kalau di sini harga lotek tidak serta-merta turun jadi Rp 500 seperti halnya dalam kasus redenominasi. Harga lotek tetap Rp 1000. Jadi uang saya jadi sisa Rp 500, harga lotek tetap Rp 1000. Saya jadi cuma bisa makan lotek setengah porsi dong atau kalau nggak saya g bisa beli sama sekali. Nah, penjual A suatu saat berkata “Yah kalau gini caranya, saya g bisa bertahan, saya gulung tikar aja deh”, Penjual B, “Yah, kalau begini saya sih masih bisa bertahan, walau margin untung saya jadi kecil”. Artinya hanya akan tersisa penjual lotek dg daya jual yg mampu bertahan di harga 500. Nah! Harga di lotek di pasar akan benar-benar turun jadi 500 ya!, walau risikonya adalah byk pejual lotek yg lain yg bangkrut dan untung penjual lotek jadi menurun, ekonomi bisa jadi lesu. Nah, itu dia filosofi mengapa menurunkan uang beredar bisa membuat inflasi menjadi turun, sumbernya adalah “penurunan daya beli” masyarakat (semoga pembaca yg non-ekonomi bisa jadi paham kenapa dg mengurangi uang beredar akan membuat harga jadi turun).
Ohya, ada satu info yang saya dapat ketika saya mengunjungi museum BI di Jakarta. Jadi pada suatu masa periode pemerintahan (sori saya lupa, karena menulis dg tanpa google dan refrensi) diberlakukan sannering (Kalau tidak salah terkenal dengan istilah gunting Syarifudin ya?). Jadi dahulu Teknisnya cukup unik, uang kita benar-benar digunting jadi 2 bagian. Misal Rp 1000, digunting jadi dua, satu sisi ditukar ke bank jadi Rp 500 uang cetak baru, satu sisi bisa ditukarkan menjadi obligasi pemerintah senilai Rp 500. Nah, kalau teman-teman di ekonomi pasti tahu kalau salah satu mekanisme mengurangi jumlah uang beredar adalah dengan menjual obligasi ke masyarakat (yg biasanya akan dilengkapi dengan kebijakan peningkatan suku bunga agar memikat pembeli obligasi). Dari uang menjadi obligasi, uang beredar berkurang bukan? Nah, sanering model tadi itu semacam, “memaksa masyarakat untuk membeli obligasi pemerintah”. Tujuan satu: uang beredar menurun, inflasi menurun. Tapi cara ini mungkin lebih manusiawi karena di masa yang akan datang masyarakat akan menerima kembali uangnya. Sayangnya, mungkin di jaman itu tidak banyak orang yang tahu kalau satu sisi uangnya bisa ditukarkan menjadi obligasi pemerintah, jadi benar2 akan membuat daya belinya menurun. Jadi bedanya kalau redenominasi untuk hal teknis kalau sanering memang mengubah jumlah uang beredar.
Loh, bukannya kasus redenominasi di atas, si penjual lotek juga bisa tetap menjual Rp 1000, bahkan lebih parahnya, uang kita hanya Rp1 dan harga lotek tetap Rp1000. Waw! kita hanya bisa memakan seperseribu dari satu porsi lotek!!! Nah dari kasus ini juga saya bisa membedakan antara redenominasi dengan sanering adalah 1) Masalah perubahan angkanya 2) Kondisi rasio masyarakat 3) Situasi ekonominya.
Kalau dalam redenominasi biasanya pengubahan angkanya sangat drastis kalau sanering tidak drastis. Mengapa? Kalau redenominasi yang biasanya adalah tujuan teknis penulisan angka yang lebih mudah, maka tujuannya adalah bukan pengurangan “Jumlah uang beredar”, sehingga membuat perubahan angka drastis pun tidak akan masalah misal dari Rp 1000 menjadi 1. Lagi pula sangatlah gila bila pemerintah mengerdilkan daya beli masyarakatnya menjadi seperseribu kali! (jika maksudnya mengurangi jumlah uang beredar) Ekonomi bisa lumpuh total. Kalau sanering untuk penurunan jumlah uang beredar, saya ragukan akan sampai seperseribu kali, karena kebutuhan mengurangi uang jumlah yang beredar akan sangat jarang sebanyak itu. Biasanya hanya setengah atau mungkin sepertiga.
Nah, kembali ke pengubahan yang sederhana. Ini mudah diingat dan akan “menormalkan rasio” masyarakat. Ya, masyarakat tidak perlu khawatir nantinya harga lotek tidak bisa dibeli dengan Rp 1, misal tiba-tiba si penjual lotek ada yang nekat jual jadi Rp 1000, yah pasti gak ada yg beli lah! Bahkan kalau ada yang masih nakal jual di harga Rp 2 saja, masyarakat pasti akan bilang “Lah, bu, kok harganya naik to? Ini kan harusnya harganya jadi Rp 1 aja…wong dulu harga Rp 1000, harusnya kan jadi Rp 1”. Nah di sini poinnya, masyarakat akan mudah mengingat kalau Rp 1000 uang cetakan lama adalah Rp 1 dengan cetakan uang yang baru. Kalau tetap si penjual nekat jual Rp 2 yah paling2 ditinggal pembeli (asumsi pasar lotek adalah pasar persaingan sempurna, gimana kalau g persaingan sempurna? Iitu lain lagi ceritanya).
Nah kebijakan redenominasi pun pada akhirnya memang harus dilaksanakan pada periode ekonomi yang stabil, sehingga masyarakat tidak rancu dan berpikir macam-macam, apakah kebijakan ini adalah semata-mata mempermudah hal teknis dan bukannya karena ada situasi ekonomi sedang memburuk sehingga digunakan untuk mengurangi jumlah uang beredar dalam rangka menahan laju inflasi.
Untuk redenominasi, situasi yang saya bayangkan adalah nantinya pada awal-awal kebijakan redenominasi diterapkan seolah-olah akan ada 2 mata uang yang beredar di masyarakat. Satu cetakan uang lama dan cetakan uang baru. Misal Rp1000 menjadi Rp1, maka satu cetakan uang baru akan dinilai seribu uang lama (jadi semacam exchange rate dengan mata uang asing). Bisa jadi di toko-toko pun akan pasang 2 harga, harga dengan menggunakan pembayaran uang cetakan lama dan harga dengan pembayaran dengan uang cetakan yang baru. Tentu saja dengan nilai tukar yang terus konsisten, lama-kelamaan uang cetak lama akan hilang dari peredaran karena akan terjadi semacam “pembersihan” uang cetakan lama di peredaran pada wilayah bank (seperti halnya jika BI mengeluarkan cetakan pecahan uang baru, secara perlahan cetakan lama aka hilang dari masyarakat).
Tentu saja redenominasi menuntut banyak hal, misalnya kesiapan sistem pencatatan saldo nasabah di dunia perbankan. Karena di perbankan pencatatan tidak lagi berupa fisik tapi sudah angka-angka digital. BI dan pemerintah harus bisa memastikan saldo bank saya dari Rp 1000000 akan jadi Rp 1000. Pengubahan harus terjadi serempak atau kalau bisa ada satu hari khusus tidak boleh ada transaksi terjadi antar perbankan. Karena kesilapan sedikit saja akan berpotensi merugikan banyak pihak. Selain itu sosialisasi akan adanya redenominasi. Kalau masyarakat perkotaan tentu saja lebih mudah, tapi apakah pemerintah sudah pernah membayangkan di daerah pelosok? Apakah bisa dengan cepat mereka tahu kalau uang Rp1000 sudah sama dengan Rp1? Belum lagi potensi penipuan-penipuan lainnya. Akan tetapi saya yakin BI sudah mengkaji hal ini sebelumnya dan semoga segera tahu apa solusinya.
Lalu, apakah redenominasi itu baik atau buruk? Kalau hanya sekedar redenominasi, selama infrastruktur, sistem dan institusi keuangan serta masyarakat kita cukup mapan, tidak akan ada banyak masalah dengan redenominasi. Justru redenominasi akan memudahkan pencatatan dalam transaksi keuangan di negara kita. Tapi coba kita lihat sekarang…apakah mereka sudah siap?