Membangun Infrastruktur Indonesia

Oleh: M Syarif Hidayatullah
Sektor pariwisata dunia baru saja mencapai sebuah milestone. Berdasarkan rilis UNWTO, 12 Desember 2012, jumlah wisatawan dunia sukses menembus angka 1 Miliar. 53% dari wisatawan tersebut berasal dari negara-negara Eropa dan Asia-Pasific menjadi tujuan dari 22% wisatawan dunia. Diluar prediksi banyak pihak, ditengah kelesuan ekonomi global, sektor pariwisata diperkirakan dapat mencatat pertumbuhan yang tinggi. Tahun 2012, sektor yang menyumbangkan 9% GDP dunia dan menyumbang 6% perdagangan global ini, diperkirakan dapat tumbuh 3-4% (UNWTO, 2012). Besarnya pertumbuhan ini tentunya menjadi berkah tersendiri bagi negara yang memiliki potensi pariwisata seperti Indonesia.
Indonesia dikategorikan sebagai negara megadiversity. Hal ini mengacu pada keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Tercatat Indonesia merupakan rumah dari 2.605 dari mamalia, burung dan amphibi, atau menempati peringkat keempat didunia (WEF, 2012). Indonesia adalah negara yang memiliki banyak peninggalan budaya. UNESCO mencatat, Indonesia merupakan negara peringkat ketiga di dunia dalam hal peninggalan prasasti, dibawah China dan Jepang.
Dengan potensi yang besar itu, seharusnya Indonesia dapat memajukan sektor pariwisatanya. Akan tetapi, fakta berbicara lain. Berdasarkan Tourism and Travel Competitiveness Index (TTCI) yang dilansir oleh World Economic Forum (WEF), pariwisata Indonesia hanya menempati peringkat 74 dari 139 negara (2011). Peringkat Indonesia masih dibawah Singapura (10), Malaysia (35), Thailand (41), dan Brunei Darussalam (67). Indonesia hanya unggul tipis dari Vietnam (80) dan dengan negara yang sedang dilanda demonstrasi besar seperti Mesir (75).
TTCI terbagi atas 14 pilar (indikator) untuk menghitung daya saing pariwisata suatu negara. Dari 14 indikator tersebut, sejumlah indikator terkait dengan infrastruktur. Pada semua indikator terkait infrastruktur, Indonesia mendapatkan peringkat rendah, seperti Air transport infrastructure (58), ground transport infrastructure (82), tourism infrastructure (116) dan ICT infrastructure (96). Indikator-indikator tersebut menunjukkan betapa buruknya Infrastruktur Indonesia yang pada akhirnya berpengaruh pada rendahnya daya saing sektor pariwisata. Infrastruktur merupakan pilar utama dalam pariwisata. Tanpa adanya infrastruktur yang baik, wisatawan akan enggan untuk berkunjung. Sayangnya, hal ini sering luput dari pembangunan sektor pariwisata Indonesia.
Sektor pariwisata sangat ditentukan oleh kemudahan mobilitas dan infrastruktur. Wisatawan akan lebih menyukai jika daerah yang dia kunjungi memiliki kemudahan mobilitas dan memiliki kenyamanan infrastruktur sebagaimana negara asalnya (Mo, Howard, and Hivitz, 1993).  Sejumlah penelitian empiris menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur (jalan, air, ICT, pelabuhan, bandara) menjadi determinan utama dalam menarik wisatawan (Gearing et al, 1974; McElroy, 2003; Seetanah et al, 2011). Secara lebih spesifik, infrastruktur transportasi dapat menciptakan pertumbuhan sektor wisata suatu daerah karena menciptakan konektivitas antara daerah asal dan tujuan wisata (Kaul, 1985; Prideaux, 2000).
Infrastruktur Pariwisata
Guna menunjang sektor pariwisata, sejumlah perbaikan dan pembangunan infrastruktur mutlak diperlukan. Infrastruktur udara diperlukan, guna memastikan konektivitas antar negara dan interegional Indonesia. Infrastruktur jalan perlu diperbaiki, karena banyak jalan menuju lokasi infrastruktur berkondisi buruk. Guna menunjang mobilitas didalam suatu daerah/kota, maka diperlukan pula pembangunan tranportasi publik, agar memudahkan mobilitas dan meningkatkan kenyamanan para wisatawan.
Membangun infrastruktur tidak semudah membalik telapak tangan, terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi. Menurut penulis, terdapat dua tantangan utama, pertama adalah komitmen anggaran dari Pemerintah, kedua adalah pembebasan lahan.
Pertama, komitmen anggaran, baik pemerintah pusat maupun daerah masih terbatas. Berdasarkan RPJMN 2010-2014, kebutuhan investasi infrastruktur mencapai Rp 1923 Triliun atau setaraf 5% dari GDP. Kapasitas fiskal Pemerintah Pusat sangatlah terbatas. Berturut-turut pada tahun 2010-2012 anggaran infrastruktur dalam APBN sebesar Rp 99,4 Triliun, Rp 128,7 Triliun, Rp 174,9 Triliun.
Untuk menopang keterbatasan fiskal APBN tersebut, peran Pemda akan sangat vital dalam pembangunan infrastruktur pariwisata. Pemerintah Daerah seharusnya mengalokasikan anggarannya untuk membangun infrastruktur. Selain itu, infrastruktur pariwisata yang perlu dibangun bersifat spesifik, seperti transportasi publik dalam kota dan jalan Kabupaten.
Komitmen pemda terhadap pembangunan infrastruktur masih sangat minim. Berdasarkan hasil olahan dari data APBD 500 Pemda tingkat I dan II, maka ditemukan bahwa rata-rata 50% alokasi APBD masih digunakan untuk belanja pegawai. Porsi untuk belanja modal (infrastruktur) hanya sebesar 21%.
Melalui Rencana Induk Kepariwisataan Nasional 2010-2025, Pemerintah telah menetapkan 222 Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN). Berdasarkan kalkulasi yang penulis buat, Kabupaten yang menjadi lokasi KPPN memiliki komitmen belanja modal yang rendah. Rata-rata alokasi belanja modal dari Kabupaten-kabupaten tersebut hanya sebesar 19% dari APBD (data tahun 2011).
Kedua, menyelesaikan permasalahan pembebasan lahan. Masalah lahan menjadi momok utama dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Banyak proyek infrastruktur yang tidak bisa berjalan akibat ada salah satu bagian lahannya (yang bahkan hanya sebagian kecil) belum dapat dibebaskan.
UU Pengadaan Lahan diharapkan dapat menuntaskan permasalahan lahan yang menghantui Indonesia selama ini. Dalam UU ini diatur empat proses pengadaan lahan, yaitu perencanaan, pengadaan, pelaksanaan dan penyerahan hasil. Waktu yang ditargetkan oleh UU ini untuk membebaskan lahan paling cepat 319 hari, dan paling lama (dengan estimasi ada keberatan dari pemilik lahan) mencapai 583 hari. Hal ini tentunya cukup melegakkan karena selama ini untuk pembebasan lahan untuk proyek jalan tol membutuhkan waktu 4-5 tahun.
Langkah kedepan
Sejumlah langkah strategis seharusnya dapat dilaksanakan oleh Pemerintah guna mempercepat pembangunan infrastruktur pariwisata. Pertama, pembangunan infrastruktur berbasiskan regional yang terintegrasi dengan pembangunan KPPN. Melalui konsep KPPN, pada dasarnya Pemerintah sudah melakukan maping terhadap lokasi yang menjadi kawasan wisata. Dari maping tersebut dapat diindikasikan sejumlah infrastruktur yang menunjang setiap KPPN. Pembangunan infrastruktur tersebut seharusnya dapat menjadi prioritas bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Kedua, guna mengatasi keterbatasan anggaran, seharusnya Pemerintah dapat memaksimalkan penggunaan skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) untuk membangun infrastruktur pariwisata. KPS adalah mekanisme kerjasama jangka panjang antara pemerintah dan swasta dalam menjalankan proyek infrstruktur. Menurut Yong (2010) mekanisme KPS membantu pemerintah dalam mempercepat pembangunan infrastruktur. Selama ini pemerintah mengalami budget constrain ketika ingin mengembangkan infrastruktur. Melalui mekanisme KPS, pemerintah akan mendapat bantuan pendanaan dan pembagian resiko bersama pihak swasta.
Tentunya, perlu komitmen yang kuat dari Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) untuk memastikan proyek KPS dapat berjalan. Contohnya, apabila PJPK nya adalah Pemerintah Daerah, maka Pemda tersebut harus bersedia mengalokasikan dana APBD untuk melakukan studi awal proyek dan membentuk panitia pengadaan yang kompeten.
Indonesia memiliki potensi pariwisata yang luar biasa, tidak ada yang meragukan hal tersebut. Indonesia perlu melakukan sejumlah langkah konkrit guna memaksimalkan potensi tersebut. Salah satu langkah tersebut adalah pembangunan infrastruktur. Dengan adanya infrastruktur yang baik, maka wisatawan akan tertarik untuk meluangkan waktunya di Indonesia.

Stop Pembangunan Jalan

Oleh: M. Syarif H.

Kebijakan pelarangan truk untuk memasuki tol dalam kota menunjukkan betapa frustasinya pemerintah dalam mengatasi kemacetan Ibukota. Kemacetan merupakan musuh utama dalam kehidupan Ibukota Jakarta. Data menunjukkan bahwa kecepatan tempuh rata-rata kendaraan pada jam sibuk di Jakarta hanya mencapai 13-15 Km/jam, sangat jauh dibandingkan dengan kecepatan tempuh perkotaan di kota-kota di Jepang (20 Km/jam) ataupun di Inggris (40 Km/jam) (Parikesit, 2011).
Selama ini, solusi untuk mengatasi kemacetan stagnan pada opsi perlunya menambah ruas jalan, baik jalan umum ataupun jalan tol. Solusi seperti ini tidak sepenuhnya salah, akan tetapi, penambahan ruas jalan secara terus menerus tidak akan menyelesaikan masalah kemacetan.
Hubungan antara konsumsi jalan dan kendaraan adalah komplementer atau saling melengkapi. Adanya jalan baru justru menjadi stimulus bagi penggunaan kendaraan bermotor. Dilihat dari logika ini, pembangunan jalan justru kontraproduktif untuk mengurangi kemacetan. Terbukti semakin menjamurnya kendaraan bermotor di Jakarta. Menurut data Polda Metro Jaya (2010), setiap tahunnya ada penambahan 364.810 unit sepeda motor dan 50.880 mobil baru di DKI Jakarta.
Meningkatkan mobilitas perkotaan
Kemacetan di Jakarta tidak akan tuntas dengan mengandalkan pendekatan konvesional seperti membangun ruas-ruas jalan baru. Sudah saatnya mobilitas perkotaan ditingkatkan.  Menurut Midgley (2011) mobilitas perkotaan adalah paradigma yang memusatkan perhatian pada lalu lintas manusia dan barang bukan pada lalu lintas kendaraan. Tujuannya adalah menciptakan sistem mobilitas perkotaan yang efisien dan memperhatikan kepentingan pengguna jalan, aman dan terjangkau. Mobilitas perkotaan akan memprioritaskan angkutan umum, pejalan kaki, dan kendaraan pengangkut barang (Midgley, 2011).
Membangun mobilitas perkotaan tentunya pekerjaan yang sangat besar. Pemerintah harus memperbaiki sarana transportasi publiknya dan memperbaiki pedestrian sehingga menjadi nyaman dan aman bagi pejalan kaki. Selain itu, kesadaran masyarakat perkotaan untuk menggeser pola mobilitasnya, dari kendaraan pribadi ke sarana publik tentu diperlukan. Saat ini pangsa pengguna angkutan umum terus menurun. Pada tahun 2002, share penggunaan angkutan umum untuk pergi ke tempat kerja masih sebesar 38,3%, sedangkan pada tahun 2010 hanya 12,9% yang menggunakan jasa angkutan umum (JUTPI, 2010).
Untuk menunjang mobilitas perkotaan, pembangunan transportasi publik Jakarta harus dipercepat. Jakarta sudah memiliki desain yang begitu bagus untuk pembangunan transportasi publiknya. Sebut saja rencana pembangunan monorail, MRT (mass rapid transportation), perluasan koridor busway, kereta api Bandara Soekarno-Hatta, dan lainnya. Untuk mempercepat rencana-rencana tersebut, ada dua hal yang harus dilakukan.
Pertama, memperkuat skema pendanaan dengan pola PPP (public private partnership) untuk proyek transportasi publik. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dana untuk membangun infrastruktur sangatlah besar, dan pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk memenuhinya, oleh sebab itu digunakanlah skema PPP. Akan tetapi, skema PPP cenderung digunakan untuk pembangunan ruas-ruas jalan tol yang memang sangat menjanjikan dari sisi profit. Proyek pembangunan transportasi publik dicap kurang “menarik” oleh investor karena memang biaya dan resikonya begitu besar.
Fenomena tersebut juga terlihat pada perencanaan PPP yang dibuat oleh pemerintah. Jumlah proyek jalan tol yang akan menggunakan skema PPP mencapai 35 proyek dengan nilai investasi mencapai US$ 26,85 Miliar. Sedangkan untuk proyek yang tergolong transportasi publik hanya berjumlah tiga proyek dengan nilai investasi US$ 1,7 Miliar (PPP Book 2010-2014, Bappenas).
Proyek pembangunan transportasi publik tidak mungkin dilaksanakan murni oleh pihak swasta. Pemerintah perlu campur tangan, agar swasta mau untuk berinvestasi pada proyek pembangunan transportasi publik. Pemerintah bisa menanggung untuk pembangunan pra sarana transportasi (jalan, rel, terminal) sedangkan swasta menanggung untuk membangun prasarana transportasi/sebagai operator (kereta, bus). Contohnya adalah proyek pembangunan monorail. Akan sangat sulit apabila swasta menanggung keseluruhan proyek, dari rel hingga operasional keretanya. Oleh sebab itu, akan lebih baik apabila pemerintah yang membangun prasarana rel nya, sedangkan swasta yang menyediakan kereta sekaligus menjadi operatornya.
Kedua, menyelesaikan permasalahan pembebasan lahan. Masalah lahan menjadi momok utama dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Banyak proyek infrastruktur yang tidak bisa berjalan akibat ada salah satu bagian lahannya (yang bahkan hanya sebagian kecil) belum dapat dibebaskan. Oleh sebab itu, RUU penyediaan lahan untuk kepentingan umum harus segera disahkan. Dengan adanya UU ini, penyediaan lahan untuk infrastruktur akan menjadi lebih cepat, dan tentunya kompensasi bagi pemilik lahan akan lebih adil.
Pada akhirnya, untuk memperkuat mobilitas perkotaan, peran serta seluruh stakeholders sangat dibutuhkan. Pemerintah dituntut berperan aktif, sebagaimana Uni Eropa yang menggelontor dana sebesar US$ 180 juta untuk membangun mobilitas perkotaannya atau seperti pemerintah India yang mengeluarkan dana hingga US$ 150 juta untuk memperbaiki sistem transportasi publiknya dengan harapan mobilitas perkotaanya dapat meningkat. Dengan adanya komitmen dari berbagai pihak, maka mobilitas perkotaan akan berjalan dengan baik dan diharapkan permasalahan kemacetan akan teratasi.