Penyakit Gila Sapi

Oleh: Wisnu Setiadi
Baru-baru ini kita diributkan dengan suspensi pemerintah Australia dalam mengekspor sapi hidup ke Indonesia. Berbagai reaksi muncul di masyarakat. Ada yang resah dan gelisah mengingat lebaran sebentar lagi (puasa aja belom ><), ada pula yang tenang-tenang aja (yang kemungkinan orang yang sangat kaya betul jadi ga ngaruh kalau harga daging sapi naik atau orang yang miskin betul sehingga ga perlu beli daging sapi). Tulisan ini bukan mau membahas masalah yang berkaitan dengan animal welfare atau bagaimana mana menyembelih sapi yang baik dan benar serta penuh kasih sayang dan cinta. Bukan pula mau membahas bagaimana lobby politik yang gencarnya luar biasa dari partai hitam-kuning-putih (yang anggotanya banyak nongkrong di agricultural department) untuk membuka keran impor sapi kembali demi mengejar target setoran pemilu 2014. Tulisan ini coba membahas betapa pentingnya secara ekonomi kita memilih mengimpor sapi hidup dibanding yang udah jadi daging dan harganya jauh lebih murah.

Siklus hidup sebinatang sapi ketika kita melakukan impor adalah sebagai berikut:

Indukan sapi datang ke Indonesia (tanpa visa dan tanpa izin kerja) –> Indukan sapi dihamili petugas IB dari kecamatan (tiap petugas IB punya reputasi macam anak kaskus, semakin banyak dia berhasil menghamili sapi semakin banyak cendolnya –> anak sapi lahir –> nyusu sama ibunya (harus berkompetisi dengan anak manusia) –> tumbuh besar (mulai makan rumput, dan suplemen lainnya) –> sudah cukup besar kemudian disembelih –> dagingnya dipotong-potong –> daging dipisah-pisah, yang tenderloin, sirloin dan sisi premium lainnya dijual dengan harga lebih mahal sementara bagian lainnya dijual dengan harga rata-rata –> bagian-bagian daging masuk ke distributor –> daging premium dibeli restoran steak, restoran jepang dan resto-resto lainnya sementara bagian buntut, lidah, dan lain-lain dibeli warung sop buntut pak Haji dan kawan-kawannya –>  Daging-daging sapi yang tidak dibeli distributor di supply untuk kebutuhan rumah tangga –> rumah tangga beli untuk dijadiin rendang, empal dan kawan-kawannya –> berakhir di septic tank (siklus hidup itu sudah mengalami sensor untuk bagian-bagian yang cukup menjijikan)
Sesuai teori mak erot, semakin panjang itu semakin puas, demikian pula dengan sapi. Semakin panjang siklusnya yang dapat kita kerjakan semakin untung Negara kita. Begini gambara siklusnya kalau kita akhirnya menyerah dan memilih mengimpor daging jadi yang harganya jauh lebih murah.

Daging diimpor –> daging dipisah-pisah, yang tenderloin, sirloin dan sisi premium lainnya dijual dengan harga lebih mahal sementara bagian lainnya dijual dengan harga rata-rata –> bagian-bagian daging masuk ke distributor –> daging premium dibeli restoran steak, restoran jepang dan resto-resto lainnya sementara bagian buntut, lidah, dan lain-lain dibeli warung sop buntut pak Haji dan kawan-kawannya –>  Daging-daging sapi yang tidak dibeli distributor di supply untuk kebutuhan rumah tangga –> rumah tangga beli untuk dijadiin rendang, empal dan kawan-kawannya –> berakhir di septic tank

Yang berarti kita kehilangan siklus ini:

Indukan sapi datang ke Indonesia (tanpa visa dan tanpa izin kerja) –> Indukan sapi dihamili petugas IB dari kecamatan (tiap petugas IB punya reputasi macam anak kaskus, semakin banyak dia berhasil menghamili sapi semakin banyak cendolnya –> anak sapi lahir –> nyusu sama ibunya (harus berkompetisi dengan anak manusia) –> tumbuh besar (mulai makan rumput, dan suplemen lainnya) –> sudah cukup besar kemudian disembelih –> dagingnya dipotong-potong.

Efek dari kehilangan siklus itu ternyata sangat berdampak signifikan bagi perekonomian lho. Mari kita urai satu per satu dari rentetan kejadian diatas.

  1. Indukan sapi datang ke Indonesia: berarti kita kehilangan lapangan kerja untuk orang yang bertugas naik dan menurunkan sapi, mengantarkan sapi dan lain-lain. Hal tersebut juga berarti hilangnya perputaran uang yang akan berpengaruh pada pertumbuhan .
  2. Indukan sapi dihamili petugas IB: berarti akan banyak petugas IB kehilangan objekannya sehingga efek sampingnya petugas IB mencoba menghamili janda-janda sebagai pelarian. Efek yang dirasakan lebih berat pada perternakan yang jalan usahanya dalam proses breeding sapi. Dengan demikian akan lebih banyak orang kehilangan pekerjaan karena jatuhnya peternakan tersebut.
  3. anak sapi lahir; nyusu sama ibunya hingga tumbuh besar: dijadikan satu karena merupakan proses yang tidak boleh terputus. Potensi kerugiannya sangat besar apabila proses ini tidak ada. Bayangkan, perusahaan pembuat makanan sapi akan tutup, pabrik susu akan terus-terusan impor, peternak-peternak pembesar dan perawat sapi akan nganggur dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pembesaran sapi akan ikut gulung tikar.
  4. kemudian disembelih dan dagingnya dipotong-potong: hilangnya siklus ini berarti menghilangkan pekerjaan tukang jagal, tukang potong daging di perusahaan pemrosesan daging sapi dan kurangnya pilihan ibu-ibu untuk bentuk potongan daging yang diinginkan
Keempat poin diatas sudah membuat kita terbayang, berapa nilai ekonomi yang hilang kalau sampai kita terus-terusan mengimpor daging jadi tanpa mengimpor yang hidupnya. Mengimpor daging jadi memang menjanjikan surga, karena harga jual daging sapi jadi lebih murah. Akan tetapi, kalau kita menilik empat poin yang telah disebutkan diatas, hal tersebut bukanlah kebijakan yang pro growth apalagi pro poor mengingat banyaknya nilai ekonomi dan pekerjaan yang hilang karenanya. Jadi, untuk urusan sapi kita sebisa mungkin mengikuti teori mak erot, semakin panjang semakin puas. Sekian.

Dukunomics (or Paranormics?)

Oleh: Wisnu Setiadi*

Setiap awal bulan, Ibu saya selalu membawa pulang majalah Misteri. Sebetulnya majalah ini tidak dibeli secara sengaja oleh ibu saya, melainkan punya temannya yang kebetulan ketinggalan di mobil Ibu saya secara rutin sebulan sekali :D. Lucunya lagi, saya termasuk penggemar majalah Misteri, jadi sangat merasa bersyukur teman ibu saya itu rajin meninggalkan/ ketinggalan majalahnya di mobil.

Semenjak SMP saya sudah kecanduan cerita-cerita menyeramkan yang kadang bikin saya sendiri mogok ke kamar mandi dan susah tidur. Tapi, ya memang sifat dasar manusia semakin takut semakin ketagihan. Dalam versi saya, hal ini saya namakan “roller coaster theory”, semakin menakutkan semakin bikin ketagihan. Posting kali ini saya bukan mau bahas cerita-cerita seram yang terdapat didalam majalah Misteri (mungkin lain waktu), tapi lebih kepada iklan-iklan yang ada di dalamnya.

Sebagian besar iklan yang terdapat di majalah Misteri adalah iklan praktek perdukunan, dari mulai pelet, santet, uang ghaib, tuyul, ilmu karomah dan ilmu aneh-aneh lainnya. Sisa iklannya diisi oleh iklan Viagra, obat kuat, boneka seks super getar, obat kuat cialis, alat bantu berbentuk vibrator dan benda-benda lain yang Cuma boleh dipikirkan laki-laki yang telah menikah. Kembali saya ingatkan saya akan berfokus ke iklan jenis yang pertama bukan yang kedua. Saya takut kalau bahas yang kedua blog ini di blokir pak mentri komunikasi yang terhormat.

Saya telah melakukan survei panel kecil-kecilan selama 10 edisi terakhir terhadap iklan-iklan perdukunan yang terdapat di majalah misteri. Responden yang saya lihat saya random, mulai dari jeng asih, ki joko bodo, papi-mami lien sugema dan beberapa pedopokan lainnya yang saya lupa namanya. Data yang saya lihat bukanlah jenis dan variasi ilmu-ilmu perdukunan yang dimiliki masing-masing, tapi saya lihat kesaksian para pengguna yang biasanya nyempil di bawah atau pojok atas.

Metode pengumpulan data saya simpel, saya membandingkan nama responden dan isi dari kesaksiannya. Saya penasaran membuktikan apakah benar dukun-dukun atau paranormal dalam bahasa halus tersebut ampuh dalam ilmunya masing-masing. Hasil yang saya dapat lumayan mengagetkan, hipotesa saya yang menyatakan bahwa saksi yang dimunculkan merupakan orang yang sama atau setidaknya jenis kesaksiannya sama dengan orang dan foto yang diubah saja DITOLAK. Ternyata, setidaknya setiap 2 edisi terdapat kesaksian baru yang dimasukkan kedalam iklan si dukun atau paranormal. Apabila kita mengasumsikan bahwa data yang diberikan si dukun valid dan hal lain kita anggap tetap (misal faktor pertumbuhan ekonomi, bencana alam dll) para dukun tersebut ternyata cukup ampuh dalam meng-kayakan dan menjodohkan pasien-pasiennya (jujur saya hingga saat ini tidak pernah menemukan kesaksian yang bercerita tentang keberhasilan santet). Dilihat dari responden yang saya pilih saya temukan fakta juga bahwa praktek perdukunan tersebut LARIS.

Oke, muncul pertanyaan kedua di benak saya, kenapa bisa sedemikan laris perdukunan tersebut? Apa iya karena faktor keberhasilannya saja?Kalau feeling saya sih masih memperkirakan success rate seorang paranormal atau dukun ga lebih dari 50%. Ditambah dijaman twitter, facebook, youtube, redtube(yang ini jangan dibuka ya bagi yang belum 21+) dan lainnya yang membentuk era netizen (bahkan pocong aja punya twitter @poconkasli) kok masih ada orang-orang yang percaya sama hal mistik?. Saya merenung, dan mendapat secercah jawabannya sebagai berikut:

Jawaban Umum:
1. Merupakan salah satu bentuk usaha, baik menjadi kaya, mendapatkan jodoh ataupun mencelakakan manusia lainnya

2. Jalan pintas dan cara tercepat memperoleh yang diinginkan

Dua jawaban diatas merupakan jawaban paling umum dan paling sering muncul alias modus. Tapi setelah saya berpikir secara ekonomi saya mendapatkan jawaban paling rasional dan paling bersifat ekonomis-religius (apa coba :P), yaitu:

1. Dari segi keuangan, return dan resiko yang diberikan sang dukun atau jin pembantunya jelas. Return yang diberikan punya time framing yang jelas dan umumnya cepat, bila dibandingkan kita berdoa pada Tuhan. Resiko yang dihadapi juga bisa dipilih sendiri tergantung kemampuan menghandle resiko masing-masing. Hubungan return dengan resikonya juga sesuai dengan perfect market theory, dimana high risk-high return. Jika sanggup menumbalkan anggota keluarga ya silakan, kalau ga sanggup cari yang mudah-mudah saja. Itu lah mengapa banyak yang tergoda melakukan ritual-ritual nyeleneh ini.

2. Hubungan kontrak antara tuan dan jin pembantu jelas. Hak dan kewajiban dilaksanakan sesuai ketentuan awal perjanjian dan kadang dapat diamandemen sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Jika dibandingkan dengan hubungan dengan Tuhan, banyak yang merasa hubungan kontraknya absurb. Padahal kalau kita mau melihat “kontrak” kita secara mendalam di Alquran, poin-poin hak dan kewajibannya lebih jelas dibandingkan kontrak manapun.

3. Munculnya probabilitas lebih besar. Coba kita ingat-ingat, kalau kita berdoa kepada Tuhan kita akan diberikan 3 pilihan kemungkinan jawaban Tuhan: 1. Ya, 2. Nanti, belum saat ini, 3. Tuhan punya hal yang lebih baik kita. Kalau di probabilitaskan masing-masing peluangnya 33,33%. Bandingkan jika pergi kedukun yang probabilitasnya 50% berhasil dan 50% tidak berhasil. Probabilitas yang lebih simpel dan besar itu kemungkinan besar turut mendorong banyak orang yang pergi ke dukun atau paranormal.

Itu salah dua jawaban yang bersifat ekonomi mengapa dukun masih bisa eksis hingga saat ini. Sebenarnya masih ada jawaban-jawaban secara ekonomis lainnya, tapi mungkin saya simpan untuk next post. Sekian.

disclaimer: paranormal dan dukun yang saya sebutkan diluar dukun/paranormal pengobatan. Selain itu, saya juga tidak bisa membedakan padepokan yang dipimpin oleh seorang syeikh dengan seorang ki atau ratu kanjeng. Jadi semua saya generalisir jadi satu.

*) Salah satu penulis kehormatan Ekonom Gila, sedang belajar mengkoordinasikan perekonomian bangsa.