Damai atau Ikut Sidang?(Reversing the Hilmy’s Logical of Fine)

Oleh: Priyok

Bung Hilmy, tidak hanya anda saja yang dag-dig-dug kalau naek kendaraanSetiap ada polisi di sudut-sudut jalan, bawaannya was-was saja. Ya terkadang tanpa diduga-duga dan disangka-sangka peluit ditiup dan tangan mereka mencegat kendaraan kita, mengucapkan sapaan kepada kita, dan gongnya adalah memberi tahu kalau kita melanggar peraturan, tak peduli ada 1000 mobil di belakang kita yang salah juga. Tak enak memang, mesti kita yakin kita betul dan sejumlah alibi lain. Sistem tilang kita menganut sistem pembuktian terbalik (yang mestinya diterapkan kepada koruptor), jadi anda dituduh salah dulu, kalau anda merasa tidak bersalah silakan dibuktikan di pengadilan alias ikut sidang.
Singkat cerita, kita ditilang. Lalu anda akan dihadapkan dengan 2 pilihan: damai atau perang (mmm, maksudnya ngikutin proses). Berikut adalah tips untuk pilihan pertama: pertama, anda akan selalu diminta untuk menunjukkan SIM & STNK. Selipkan selembar uang 50rb di lipatan STNK anda. Dijamin polisi akan bilang ”Lain kali hati-hati ya Pak”. Kedua, yang namanya tindakan tercela enakan dilakukan di tempat tertutup. Jadi menyingkirlah sejenak ke pos polisi. Disanalah salah satu tempat terbaik untuk negosiasi.
 Yang kedua adalah pilihan mengikuti proses tilang. Proses tilang itu sendiri menurut saya adalah hal yg ghoib. Kalau mau rajin cari di internet sih ada. Tp pihak kepolisian secara terbuka jarang memberitahu masalah ini. Tau-tau disuruh ikut sidang saja atau ya nyogok tadi. Sekilas saja, mungkin anda sudah sering mendengar/membaca artikel tentang slip merah dan biru. Merah untuk tidak setuju, biru untuk pasrah. Dalam artikel tersebut biasanya menyebutkan biru lebih baik, tp sebenarnya tidak juga. Saya kebetulan mengalami keduanya. Kalo merah, anda cukup datang ke persidangan, menunggu sekitar 3 jam karena sidang ngaret, ikut sidang 20 menitan rame2, bayar uang sidang+denda (biasanya 25% dr denda maksimal), kembali ke polisi yg menilang, tunjukan bukti sdh membayar denda, dan selesai. Kalo biru, anda tinggal ke bank BRI, minta slip pada satpam (pasti bingung nyarinya tu satpam), isi, bayar sejumlah denda maksimal, kembali lagi ke polisinya dan beres. SNTK dan SIM anda dijamin kembali.
 Intinya ditilang itu ribet pooool!!!
Ohya, menurut undang-undang kita no 22 tahun 2009 tentang lalu lintas pelanggaran paling murah didenda sebesar 100.000 yaitu untuk motor yang ga pake spion, ga nyalain lampu,dll. Paling mahal 10.000.000 kalo nerabas jalur busway. Klo ga punya SIM kena 1.000.000, klo ga pake seatbelt kena 1.000.000, ugal-ugalan kena 500.000, dsb. Itu maksimal. Bisa kurang kurang kok, asal wani piro?hehehehehehe
Dalam artikel Bung Hilmy, beliau mencoba membandingkan secara cost and benefit mengenai pertilangan ini. Namun menurut hemat saya, analisisnya kurang menyeluruh dan kurang mempertimbangkan aspek-aspek tertentu. Misalnya, mensimplifikasi sidang yang hanya 1 jam. Padahal urusan sidang tak hanya 1 jam. Sehingga saya mencoba memberikan itung-itungan yang lebih njlimet untuk menjawab secara akuntansi mending nyogok atau sidang (secara akuntansi lho, bukan ngajarin nih).
Kita gunakan asumsi yang sama dengan yang dimiliki Bung Hilmy.
Andaikan saja, anda adalah seorang PNS golongan III A dengan gaji Rp2,500,000, kemudian anda ditilang oleh polisi karena anda naik motor terlalu ngebut dan akhirnya melanggar lampu merah. Jika anda putuskan ikut sidang, anda diberikan izin oleh atasan untuk urus selama 3 jam (kita rasionalisasi menjadi 1jam perjalanan ke tempat sidang + 1 jam sidang +1 jam ngambil sim/stnk ke polisi 1), namun jika anda putuskan segera damai dengan polisi anda bayar Rp50,000(polisi sekarang mintanya 100.000 cuy).
Sehingga kalau ditabulasi hasilnya: 

Variabel yang Dikorbankan

Damai

Slip Merah

Slip Biru

Gaji yang dikorbankan

62,500

31,250

Denda

100,000

50,000

500,000

Total

100,000

112,500

531,250
Nah, kalau begini ceritanya kalau kita menggunakan pertimbangan ekonomis, akuntansi, dan cost benefit analysis maka yang harus dipilih adalah damai. Terlebih kalau penghasilannya lebih besar seperti kang Hilmy atau yang lain, maka semakin besar uang yang harus dikorbankan untuk mengurus pertilangan ini. Yang artinya juga semakin ”murah” mengurus tilang menilang dengan jalan damai. Kalau caranya begini hanya patriotisme dan hati nurani yang membuat kita memilih jalan yang benar.
Sampai saat ini saya meyakini hanya 20% penduduk Indonesia yang mengerti tentang SOP penilangan. Saya pun tak pernah menemukan informasi yang jelas dari kepolisian tentang bagaimana ditilang yang baik dan benar, kalaupun ada saya hanya mendapatkannya dari blog orang atau pengalaman orang yang pernah ditilang. Baswir (2008) pernah menyatakan bahwa dalam memberikan pelayanan publik yang baik harus memenuhi 3 kriteria, yaitu transparansi proses, transparansi waktu, dan transparansi biaya. Tanpa ketiga hal tersebut pelayanan publik akan menjadi rawan penyelewengan. Terkadang oknum pelayan oknum secara sengaja menutupi ketiga hal tersebut untuk kepentingannya sendiri (wah semuanya oknum sih, yang bersih sedikit). Coba saja cek di website dirpolantas, apa ada info mengenai hal tersebut.
Yang jelas yang namanya korupsi, nyogok, dll bukan sekedar masalah pilihan ekonomi maupun akuntansi. Memilih yang menggunakan resource tertentu demi mendapatkan capain tertentu. Bukan itu bung. Korupsi itu masalah nurani. Itu saja.

Ikut Sidang Atau Damai?

Oleh: Hilmy
Terkadang saya suka dag-dig-dug sendiri kalau lagi naik motor tiba-tiba ada hadangan polisi yang menanti untuk merazia kendaraan bermotor. Meskipun saya sudah punya SIM dan STNK yang sudah diperbarui, tetap saja kenangan masa lalu membekas dimana saya harus membayar sejumlah uang untuk “damai” dengan polisi.
Ngomong-ngomong, benarkah tindakan kita untuk memberikan uang kepada polisi? Padahal ada opsi sidang yang sebenarnya adalah jalur resmi untuk membayar tilang? Kalau dari segi hukum tentu tindakan itu sama dengan menyuap, tindakan menyuap tersebut dekat kepada perbuatan korupsi, perbuatan korupsi bisa dikenai hukuman, namun hukuman korupsi bisa diselesaikan pula dengan uang…ah, ujung-ujungnya memang uang lagi. Kembali ke masalah membayar uang damai ke polisi, pernahkah kita menilai apakah tindakan tersebut logis secara ekonomi? Mengapa kebanyakan kita mau membayar uang damai kepada polisi?
Membayar uang damai kepada polisi biasanya sekitar Rp50,000 dan setelah membayar, kita akan dilepaskan oleh polisi. Namun berapakah biaya sidang tilang secara resmi? Untuk pelanggaran motor, anda dikenakan denda Rp20,000. Bagi pengendara mobil akan dikenakan Rp30,000. Jika anda melakukan dua pelanggaran seperti tak bawa SIM dan melanggar rambu, dendanya adalah Rp50,000. Jika anda naik motor dan tertangkap basah melanggar sebuah rambu, anda seharusnya bisa membayar Rp20,000 namun mengapa anda mau membayar Rp50,000? Bukankah ini adalah sebuah keputusan yang tidak logis dan ekonomis?
Saya Tak Ada Waktu
Mungkin kebanyakan alasan yang akan dikemukakan oleh anda (termasuk saya) adalah tak mau hadapi jalur birokrasi yang berbelit. Antri sana, antri sini, ke loket sana, ke loket sini, dan memang jalur birokrasi yang terlalu berbelit lah yang menyebabkan banyak orang melakukan keputusan ekonomi tak logis, ya salah satunya soal tilang-menilang ini.
Andaikan saja, anda adalah seorang PNS golongan III A dengan gaji Rp2,500,000, kemudian anda ditilang oleh polisi karena anda naik motor terlalu ngebut dan akhirnya melanggar lampu merah. Jika anda putuskan ikut sidang, anda diberikan izin oleh atasan untuk urus selama 1 jam, namun jika anda putuskan segera damai dengan polisi anda bayar Rp50,000. Berdasarkan analisis sederhana yang disajikan dibawah ini, kira-kira apa yang harus anda putuskan? Atau mungkin Anda butuh ide SEGAR untuk memutuskannya?

Variabel penentu keputusan
Damai dengan polisi
Ikut sidang
Gaji yang dikorbankan
Rp0
Rp15,625
Denda yang dibayar
Rp50,000
Rp20,000
Total
Rp50,000
Rp35,625
Hm, adakah yang salah dengan keputusan anda? Ternyata berdamai dengan polisi memang merupakan jalan pintas karena urusan segera selesai saat itu juga, hari itu juga saat anda serahkan selembar uang berwarna biru. Mungkin dalam pembuatan keputusan, anda kadang memperhitungkan perasaan malas untuk urus ini-itu di sidang pertilangan, dan bagi anda membayar Rp50,000 adalah alasan logis untuk menghindari tetek bengek birokrasi. Itulah keputusan ekonomi anda, saya, dan mungkin sebagian besar dari kita. Padahal berdasarkan pengakuan salah seorang blogger, persidangan yang dijalankan tidak serumit yang dibayangkan, jaksa akan memanggil nama kita, sebutkan pelanggaran, kemudian sebutkan jumlah yang harus dibayar, dan selesai sudah! Namun, mungkin permasalahan antri sebelum sidang itu yang kembali membuat anda, saya, dan sebagian besar kita menghindarinya. Padahal jika anda seorang PNS dengan gaji Rp2,500,000 anda hanya kehilangan gaji Rp15,625 untuk menjalani keseluruhan sidang selama 1 jam dari waktu kerja. Sekali lagi, sudah benarkah keputusan kita? Jangan-jangan dari keputusan kita sendirilah, korupsi tumbuh subur…

*Lulusan IE FEB UGM yang berpforesi menjadi Pengusaha Ngawur